Kamis, 14 April 2016, Pukul 21.00
Beberapa hari kemarin si bungsu kembali berulah.
Gara-gara ulahnya ini saya sampai dibuat sakit kepala dibuatnya. Bahkan saking
ngga sanggup nahan sakitnya, malam-malam terpaksa saya diantar si bebeb ke
dokter minta diberi pereda sakit dan antibiotik. “Sakit sekali Ayah, ngga
sanggup kalau nunggu sampai besok,” saya menangis berguling-guling di tempat
tidur. Sakitnya tidak juga reda walaupun saya sudah minum Sanmol. Entah
dosisnya yang kerendahan atau memang belum bereaksi.
“Ini sih fix harus dioperasi Bu. Kalau tidak, Ibu akan
terus menerus merasa sakit,” kata Bu Dokter di ruang pemeriksaan. “Tidak ada
cara lain ya Dok?” Tanya saya berharap. “Takut banget Dok,” ujar saya.
“Jangankan Ibu, saya juga takut, Bu.” Hadeuh, kirain saya namanya Dokter ngga
pernah takut, ternyata mereka juga manusia. Takut juga sama Dokter Gigi.
Ya, si bungsu maksudnya adalah gigi yang paling akhir
tumbuh. Kita sering menyebutnya gigi bungsu. Gigi ini merupakan geraham ke-3.
Banyak orang yang mempunyai masalah dengan gigi bungsu ini, termasuk saya. Gigi
bungsu saya tumbuh miring dan menumbuk gigi geraham ke-2 yang terletak di
depannya. Istilah kedokterannya impacted atau gigi impaksi. Dokter sering
menyebut juga, “oh, M3.” Entah apa maksudnya dari istilah M3 ini.
Menunggu dipanggil untuk mengambil obat sangat lama.
Saya mengamati ke sekeliling. Banyak juga ternyata yang sedang berobat di
klinik ini. Mulai dari anak kecil hingga ke orang dewasa. Ada seorang ibu
dengan penampilan modis, berakrab-akrab ria dengan si petugas di kasir dan
perawat lainnya yang bertugas memberikan obat. Saya ingat, si ibu ini adalah
pasien yang dipanggil dokter umum setelah saya keluar dari ruang dokter. Entah
kenapa si ibu ini justru dipanggil duluan oleh perawat untuk melakukan
pembayaran dan mengambil obat. Wah, langsung saja darah naik ke ubun-ubun.
Begitu giliran saya dipanggil, dengan judes saya bertanya, “Mbak, memang
obatnya racikan?” Si Mbaknya heran mendengar pertanyaan saya, dan dengan
ragu-ragu menjawab, “bukan racikan Bu. Memangnya kenapa?” Dia belum ngeh saya
sebel banget karena si ibu berkerudung merah dipanggil duluan. “Oh, dia sudah
duluan, Bu,” jawabnya. Saya masih marah, bagaimana mungkin dia duluan, padahal
saya tahu dia masuk belakangan? Saya masih cemberut, bahkan sampai si Mbak
bilang semoga lekas sembuh pun tidak saya jawab.
Dalam perjalanan pulang, angin malam dingin menerpa
wajahku. Si bebeb memacu motor matic-nya tidak terlalu kencang. Sakit di gigi
pun tidak sesakit tadi. Ah, ternyata sanmolnya baru bereaksi. Tiba-tiba saya
terpikirkan bahwa si ibu tadi bisa jadi pergi ke dokter lain kemudian
menyerahkan berkas sebelum pergi ke dokter umum. Kalau seperti itu make sense
sekali kalau dia didahulukan. Saya tertawa sendiri cekikikan, mentertawakan
diri sendiri. Duh, ternyata sakit gigi juga bisa membuat nalar tidak terkontrol
dan akhirnya emosi yang didahulukan. Maaf ya Mbak, sudah marah-marah.
Jum’at, 15 April 2016, Pukul 10.00
Sudah dua orang menunggu di ruang klinik ini, suster
belum juga selesai bicara di telepon. Sepertinya masalah lumayan serius. Ih,
siapa sih karyawan yang bandel ini yak, diurusin kok susah, runtuk saya dalam
hati. Sambil menunggu, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Tabung-tabung oksigen berjejer belum tersentuh, di sebelahnya ada tempat tidur
pasien. Obat-obatan umum terlihat berada di dalam lemari kaca tersendiri.
Paramedik yang lain sedang memisah-misahkan obat yang baru datang dari Apotek.
Karyawan yang sakit dan berobat diklinik, biasanya obat ditebus oleh klinik di
Apotek rekanan, sehingga karyawan tidak perlu pergi ke Apotek, hanya tinggal
mengambilnya di klinik.
“Kenapa nong (nong adalah panggilan untuk perempuan di Banten)?” Tanya suster tiba-tiba membuyarkan pengamatan saya.
Saya meringis menunjuk-nunjuk ke arah pipi, “Sakit gigi! Gigi yang miring itu.”
“Ih, elu mah, penyakit dipiara ye! Udah cabut aja!”
Suara suster meninggi dengan mata khawatir. “Daripada lu sakit kepala
terus-terusan, mending di cabut. Ngga apa-apa. Tinggal mangap doang. Lu daftar,
mangap, pulang. Ngga usah bayar. Yang penting kalau gigi miring lu harus ke
bedah mulut ya!” Cerocosnya ngga ada jeda.
“Takuuuut,” sahut saya. “Percaya deh, mending sakit
sebentar daripada terus-terusan sakit kepala.” Saya masih bimbang dan ragu.
“Iya Bu, saya juga dicabut dua-duanya. Setelah itu ngga pernah sakit lagi.”
Teman yang juga datang ke klinik memberikan sarannya. “Nih, gue kasih nomornya
yak. Terserah lu mau kemana. Mau di Bethsaida ada dokter Alex, lu tinggal sms
perawatnya. Mau di Mayapada juga bisa, dokternya perempuan. Atau mau di Bona
Medika, ada dokter Heri, lu tinggal telepon Bona Medika, nanti perawatnya
telepon elu.” Katanya sambil menulisakan nomor-nomor telepon yang bisa saya
hubungi. “Udah, Bismillah aja. Insya Allah, kagak nape-nape.” Dia menyerahkan
secarik kertas berisi nomor kotak dokter-dokter bedah mulut.
“Oke deh thank
you,” sahut saya dengan galau.
Gigi impaksi ini adalah gigi yang tumbuh dengan posisi
tidak normal, bisa tertanam seluruhnya atau sebagian. Pada umumnya gigi yang mengalami
impaksi adalah gigi geraham bungsu yang biasanya muncul saat usia sekitar 17 –
21 tahun. Ada juga sih yang baru muncul
di usia 25 tahun. Ada yang langsung jelas kelihatan, karena si gigi mencuat sebagian
ke permukaan gusi, hanya saja miring posisinya. Ada juga yang tidak terlihat
giginya, tahu-tahu gusinya bengkak sampai tidak bisa makan, seperti kasus teman
saya, yang akhirnya ketahuan bahwa penyebabnya adalah si bungsu yang impaksi.
Tidak tanggung-tanggung, langsung cabut sekaligus 3 gigi bungsu.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti
kenapa gigi ini bisa tidak tumbuh normal. Katanya sih karena rahang tidak
mempunyai tempat yang cukup untuk tumbuhnya gigi geraham bungsu ini. Besar
kemungkinan rahang yang sempit ada hubungannya dengan tekstur makanan yang
dikonsumsi. Zaman dahulu katanya sih orang makannya yang keras-keras, jadi
rahang lebih berkembang. Sekarang manusia lebih memilih yang praktis dan lunak.
Ada salah satu teman yang cerita bahwa keponakannya rahangnya sempit, karena
dari kecil hingga besar selalu dikasih yang lunak-lunak, seperti bubur.
Sabtu, 16 April 2016, Pukul 10.00
Bethsaida? Bona Medika? Siloam?
Saya galau. Asli galau. “Yah, mending di Cilegon aja
atau ke Tangerang?” Saya meminta persetujuan. “Terserah,” jawabnya singkat. Ih,
sebel! Tidak menghilangkan kegalauan saya. “Takut Yah,” kata saya pelan. “Cuma
operasi ringan ini,” jawabnya enteng.
Operasi ringan. Saya menghela napas panjang. Operasi
bedah mulut untuk mengangkat gigi impaksi memang operasi ringan. Tapi saya
takut. Bagaimana jika saya alergi obat bius? Duh, cukup dulu mengalami alergi
antibiotik, timbul bintik bintik merah atau yang di sebut steven johnson
syndrome, yang menyebabkan saya harus minum obat berbulan-bulan lamanya.
Bagaimana jika obat bius yang disuntikan salah. Saya teringat kasus di rumah
sakit mewah yang terkenal, beberapa orang meninggal karena ternyata ampul bukan
berisi obat bius, karena kesalahan dari manufakturnya? Belum lagi cerita kakak
tingkat saya yang pernah dicabut gigi geraham oleh dokter gigi pembantu, yang
menyebabkan masalah dengan rahangnya. Berbulan-bulan doi mengenaikan penyangga
dan makan melalui sedotan akibat hal tersebut. Ah, pokoknya berbagai hal buruk
muncul di benak saya.
“Wah, itu bengkaknya bisa seminggu,” kata seorang
rekan kerja. Busyet, bengkaknya seminggu? “Pilih dokternya jangan yang
perempuan. Kalau perempuan ngga kuat cabut gigi geraham,” kata yang lain. “Iya,
Mbak. Saya aja kapok ke dokter gigi waktu cabut geraham. Dokternya ngga kuat
nyabutnya, sampai lama digoyang-goyang cabut geraham dan menimbulkan sakit di
mulut.
Obat yang diberikan dokter umum hanya membantu
sementara, jika obat lupa diminum, kembali gigi cenat-cenut kembali. Akhirnya
saya bertekad untuk melakukan operasi pengangkatan gigi bungsu ini. Dengan hati
agak berat, saya beranikan untuk menelepon ke Bona Medika. “Mau daftar ke
dokter bedah mulut, Mbak,” kata saya, “saya sudah rontgen paranomic 3 tahun
lalu Mbak, jadi saya ngga mesti rontgen lagi kan?” Si Mbaknya menjawab,
harusnya sih masa berlaku rontgen 6 bulan, tapi dia suruh saya membawanya saja
saat periksa. Saya memang sudah melakukan rontgen paranomic jauh sebelumnya.
Ya, sakit akibat si gigi bungsu yang rewel sebetulnya bukan kali ini saja. Jauh
sebelumnya gusi pernah bengkak dan sakitnya ruaaar biasa. Tapi setelah diberi
obat dan sembuh, saya pun melupakan rujukan dokter untuk rontgen paranomic dan
konsultasi ke dokter bedah mulut. Dalam masa itu 2x si bungsu ngadat dan
membuat gusi bengkak. 3 tahun yang lalu, sakitnya kambuh lagi, sehingga saya
pun ke dokter gigi dan rontgen paranomic. Tapi berhubung besoknya saya mau
berangkat haji, dokter gigi umum tersebut bilang, nanti saja setelah kembali
dari Mekkah, takutnya malah nanti bengkak dan mengganggu perjalanan ibadah
haji. Herannya, setelah kembali dari Mekkah, si bungsu adem ayem, ngga rewel.
Saya pun lupa jika harus cabut gigi bungsu.
Senin, 18 April 2016, Pukul 10.00
“Halo Bu, Ibu daftar ke dokter Heri ya?” Suara
perempuan terdengar di ujung gagang telepon di seberang sana. “Maaf, hari ini
dokter Heri tidak bisa praktek. Besok baru praktek, bagaimana Bu?” Dia
menjelaskan bahwa dokter Heri hanya praktek Senin sampai Kamis di Bona Medika,
karena beliau tinggal di Bandung, dan hari Senin ini beliau tidak bisa praktek.
Masih galau, apalagi mendengar saran-saran dari teman
yang pernah melakukan proses pencabutan gigi. “Di Siloam aja Na, dokternya
canggih. Alat suntik biusnya kayak stepler.
Kalau pakai suntikan, lo kebayang sakitnya,” saran seorang teman yang
sebelumnya pernah mengalami operasi pencabutan gigi bungsu.
Ah, what ever will
be, will be. Pain, please go away!
D-Day, Pukul 14.00
Setelah meminta ijin untuk early leaving, alias hanya kerja setengah hari, saya pun menuju ke
klinik Bona Medika yang terletak di Kompleks Bonakarta. Saya sengaja tidak
cuti, karena saya pikir jika saya cuti di rumah, menunggu sampai waktunya
operasi akan semakin deg-degan ngga karuan. Saya juga akhirnya memilih di Bona
Medika, klinik kecil dibandingkan rumah sakit besar. Saya malas jika harus ke
Tangerang, walaupun sebetulnya tinggal duduk saja, karena rumah sakit
menyediakan jemputan yang akan mengantar jemput saya. “Bismillah aja yak,
banyakin minum air putih sama banyakin zikir,” kata suster sebelum saya
berangkat keluar dari gerbang pabrik.
Klinik Bona Medika, jam segini sangat sepi. Ditambah
lagi ruangan agak sedikit gelap dari biasanya. Entah sengaja dimatikan lampu
penerangannya supaya hemat listrik atau lampunya lagi mati. Hanya ada satu dua
orang pasien terlihat di ruang tunggu. Setelah mendaftar ulang, saya pun naik
ke lantai atas. “Dokternya sudah ada, Sus?” Tanya saya. “Sudah Bu, dari jam
14.00 juga sudah datang. Biasa, siap-siap dulu.” Pasien pertama adalah saya,
waktu perjanjian saya adalah jam 2.30 sore. Wah, tumben ada dokter yang datang
jauh sebelum pasiennya datang, pikir saya.
Menunggu 30 menit yang menegangkan. Untuk membunuh
rasa tegang, saya memainkan game andalan saya di android. Sampai akhirnya nama
saya pun dipanggil. Bismillah!
“Kenapa nih?” Tanya si dokter membuka percakapan.
“Gigi saya miring, Dok. Sakit,” jawab saya meringis,
“saya sudah rontgen paranomic, tapi 3 tahun yang lalu.”
“Coba saya lihat,” sahutnya. Saya pun menyerahkan
amplop putih berisi hasil rontgen 3 tahun yang lalu. Dokter pun mengeluarkan
isinya dan memasangnya di display lampu.
“Wah, ini mah harus di cabut 2, Bu. Yang depannya juga
sudah kena,” kata Dokter.
Saya tercekat. Dua? “Sakit ngga, Dok?” Tanya saya
khawatir.
“Ngga jamin ya Bu. Ya pasti ada sakitnya. Kalau saya
bilang ngga sakit, saya bohong dong Bu,” jawabnya. “Siap, Bu?”
“Ya, sudah Dok, mau bagaimana lagi,” saya nekat.
Soalnya walaupun sudah diberi antibiotik masih agak sedikit cekot-cekot.
“Masih sakit ngga giginya?”
“Sedikit. Agak mendingan setelah dikasih obat dari
dokter umum,” saya mengeluarkan obat yang saya dapat dari dokter umum. Dokter
Heri melihat sambil mengangguk, dan meminta saya ke kursi “eksekusi”.
Jangan ditanya degdegannya seperti apa. “Ulah tegang
Bu, biasa wae,” kata dokter menenangkan. Saya menarik napas panjang, apalagi
sepintas melihat jarum yang sedang disiapkan. “Si Ibu meuni tegang pisan.
Santai wae Bu. Da ngga bakalan diperkosa ini.” Wkwkwk, coba kalau teman saya
yang diajak ngomong kayak gini, mungkin dia bakal balik nantangin.
“Tes alergi dulu ya Bu,” terasa jarum kecil menyentuh
pingiran permukaan dalam pipi disebelah gusi belakang. Oh, ternyata ngga awal
suntik obat bius toh. Ada tes alerginya dulu, pikir saya. Sambil menunggu
bereaksi, dokter mengajak ngobrol. Entah kenapa tiba-tiba obrolan menjadi
menjurus ke tempat kuliah di Jatinangor dulu. Rupanya pak dokter ini angkatan
tahun 90 kedokteran gigi Unpad. Wih, agak bangga dikit, ternyata anak gigi
Unpad canggih-canggih. Akhirnya ngobrol seputar kampus deh, sampai ke unit
pelayanan gigi segala.
“Ngga alergi. Yuk. Siap yak,” kata dokter setelah
beberapa saat. Saya pasrah. Terasa sebuah benda menusuk gusi. Saya pikir pasti
sakit nih. Eh, ternyata tidak sakit sama sekali. Tidak lama, sekitar gusi
terasa menebal. Entah berapa kali tusukan. Saya merasa ada 2 kali tusuk. Tak
berapa lama, rasa tebal merangsek menuju ujung bibir kiri. Saya menunjuk ke arah
bibir. “Kebas,” kata saya. Tiba-tiba teringat cerita salah satu bos saya,
istrinya sampai sekarang bibirnya sebelah tidak merasa akibat dicabut gigi.
“Iya, memang kebas Bu, separuh bibir,” jawab dokter menenangkan kembali.
Cekrik. Cekrik. Cekrik. Terdengar seperti
bunyi ujung gunting yang sangat kecil yang hanya bisa satu kali gunting. Antara
bunyi cekrik satu dengan cekrik yang lain ada jeda. Entahlah apa
gusi sedang dibuka? Kemudian, terasa seperti ada alat masuk dicelah sebelah
luar gigi geraham belakang. Gigi seolah didongkrak ke atas beberapa kali.
“Kerasa ngagebros nya?” tanya dokter, maksudnya terasa terperosok ya giginya.
Ah, tapi saya ngga bisa merasakan bedanya sama sekali. Hihi. Kemudian terasa
gigi dicabut dari tempatnya. Rasanya ngga sampai 2 menit, 2 gigi sudah berhasil
dicabut. “Tinggal dijahit ya,” kata dokternya. Saya melihat benang untuk
menjahit gusi yang berwarna hitam. Jarumnya tidak mirip dengan jarum jahit yang
dipakai untuk menjahit baju. Sepintas sih mirip dengan kawat pendek. Tapi
entahlah, saya tidak memperhatikan betul. Boro-boro ingin melihatnya. Hitungan
saya sih ada 3 kali dokter mengganti benangnya untuk kemudian menjahit gusi
yang terbuka.
“Udah, selesai. Ini digigit yak kapasnya selama 1 jam.
Jangan makan panas, minum panas dulu,” kata dokter. Dih, tahu begini, mendingan
dari dulu di cabut yak, pikir saya dalam hati. “Nih, giginya. Udah rusak banget
kan?” katanya sambil menunjuk gigi yang barusan dicabut, “itu sampai besok
darahnya masih keluar, jadi jangan kaget yak. Normal kok.” Dokter kembali ke
meja dan menulis resep.
“Bengkak ngga dok sesudahnya,” tanya saya. “Bengkak
lah. Kalau saya bilang ngga bengkak berarti saya bohong,” jawabnya lagi cuek,
dan tetap melanjutkan menulis resep. “Tenang, saya kasih obat penghilang rasa
sakit yang bagus juga anti bengkaknya,” lanjutnya lagi. “Mulai diminum kapan
dok itu obat?” Tanya saya. “Sekarang langsung minum,” ujar dokter. “Dok, ini
mulai agak senut-senut,” potong saya. “Oh, ya udah, nih kamu secepatnya tebus
obatnya, langsung minum ya,” kata dokter. Saya langsung berdiri dan angkat
kali, lari ke lantai bawah. Wah, gawat nih kalau sampai telat minum obat pereda
sakit.
Setelah minta minum sama si Mbak penjaga apotek, saya
pun langsung minum obat anti sakitnya, Celebrex. Jiah, sama halnya seperti
sanmol, ternyata obat ini tidak langsung bereaksi. Suster pun memerikan
obat-obatan lainnya dan memberikan struk pembayaran yang harus saya
tanda-tangani. Wow! Cabut 2 gigi ternyata lumayan juga harganya. Untuk
ditanggung penuh.
Penderitaan ternyata masih panjang. Karena saya sok
mandiri, saya pergi cabut gigi sendiri. Tapi ternyata terasa banget, apalagi
naik angkotan umum. Mau bilang stop aja susahnya minta ampun, karena mulut
isinya penuh ludah semua. Mau ditelan kok agak sisih karena bercampur darah. Emang
sih darah sendiri. Tapi tetap saja merasa bagaimana gitu. Sebetulnya sih
disuruh ditelan karena kalau diludahin katanya mengganggu pembekuan darah.
Kepala pun rasanya nyut-nyutan. Haduh, obatnya belum
bereaksi. Rasanya pengen cepat sampai di rumah. Mamang ojek pun sampai
khawatir, “ngga apa-apa itu, Bu. Masih banyak keluar darah?” Haduuh, maaf ya
Mang, bukannya ngga mau jawab. Susah mau buka mulut Mang, masih gigit kain kasa
di gusi yang dibedah.
Sampai di rumah, langsung ganti baju, langsung tidur,
walaupun tetap hanya bisa gulang-guling selama lebih dari 30 menit. Baru
kemudian berangsur-angsur membaik, tidak terasa sakit. Sejak itu gusi yang
dibedah tidak sakit selama minum obatnya tepat waktu.
Nah, berkaca dari pengalaman saya, jadi:
1.
Jika
gigi bungsu dipastikan impaksi, mau dia posisinya miring atau horizontal,
mending dicabut deh, daripada nyesel seperti saya akhirnya 2 gigi yang dicabut
karena sudah merusak bagian depannya. Beberapa dokter malah menyarankan untuk
mencabut gigi ini saat usia 18 tahun jika sudah terdeteksi melalui rontgen
paranomic.
2.
Operasi
bedah mulut untuk pengangkatan gigi impaksi ternyata tidak seseram yang
dibayangkan. Saat disuntik obat bius pun tidak sakit kok. Malah sakitnya
sesudahnya. Itupun paling selama 1 jam sebelum obat penghilang rasa sakit
bereaksi. Daripada sakit kepala terus menerus, lebih baik senut-senut selama 1
jam deh.
3.
Gigi
impaksi bisa menyebabkan sakit kepala terus menerus, karena dia tumbuh mendesak
saraf. Terkadang bisa juga menimbulkan gangguan pada telinga dan mata. Pada kasus yang lebih serius, jika dibiarkan
akan menimbulkan kista atau tumor. Seram yak.
4.
Gigi
impaksi sebetulnya bisa dicabut bisa tidak, tergantung letak dan posisinya. Lebih
baik sih langsung dikomunikasikan dengan dokter bedah mulutnya.
5.
Saat
operasi enaknya sih ada yang nemenin. Biar ada yang bisa foto-foto buat blog, eits, ngga denk, biar pulang ada yang mendampingi. Kemarin saya sok jago, sok
mandiri. Tersiksa deh. Hihihi.
6.
Setelah
operasi, jangan makan yang panas-panas karena akan mengganggu proses pembekuan
darah.