Minggu, 24 April 2016

Si Bungsu Penyebab Sakit Kepala

Kamis, 14 April 2016, Pukul 21.00

Beberapa hari kemarin si bungsu kembali berulah. Gara-gara ulahnya ini saya sampai dibuat sakit kepala dibuatnya. Bahkan saking ngga sanggup nahan sakitnya, malam-malam terpaksa saya diantar si bebeb ke dokter minta diberi pereda sakit dan antibiotik. “Sakit sekali Ayah, ngga sanggup kalau nunggu sampai besok,” saya menangis berguling-guling di tempat tidur. Sakitnya tidak juga reda walaupun saya sudah minum Sanmol. Entah dosisnya yang kerendahan atau memang belum bereaksi.

“Ini sih fix harus dioperasi Bu. Kalau tidak, Ibu akan terus menerus merasa sakit,” kata Bu Dokter di ruang pemeriksaan. “Tidak ada cara lain ya Dok?” Tanya saya berharap. “Takut banget Dok,” ujar saya. “Jangankan Ibu, saya juga takut, Bu.” Hadeuh, kirain saya namanya Dokter ngga pernah takut, ternyata mereka juga manusia. Takut juga sama Dokter Gigi.

Ya, si bungsu maksudnya adalah gigi yang paling akhir tumbuh. Kita sering menyebutnya gigi bungsu. Gigi ini merupakan geraham ke-3. Banyak orang yang mempunyai masalah dengan gigi bungsu ini, termasuk saya. Gigi bungsu saya tumbuh miring dan menumbuk gigi geraham ke-2 yang terletak di depannya. Istilah kedokterannya impacted atau gigi impaksi. Dokter sering menyebut juga, “oh, M3.” Entah apa maksudnya dari istilah M3 ini.

Menunggu dipanggil untuk mengambil obat sangat lama. Saya mengamati ke sekeliling. Banyak juga ternyata yang sedang berobat di klinik ini. Mulai dari anak kecil hingga ke orang dewasa. Ada seorang ibu dengan penampilan modis, berakrab-akrab ria dengan si petugas di kasir dan perawat lainnya yang bertugas memberikan obat. Saya ingat, si ibu ini adalah pasien yang dipanggil dokter umum setelah saya keluar dari ruang dokter. Entah kenapa si ibu ini justru dipanggil duluan oleh perawat untuk melakukan pembayaran dan mengambil obat. Wah, langsung saja darah naik ke ubun-ubun. Begitu giliran saya dipanggil, dengan judes saya bertanya, “Mbak, memang obatnya racikan?” Si Mbaknya heran mendengar pertanyaan saya, dan dengan ragu-ragu menjawab, “bukan racikan Bu. Memangnya kenapa?” Dia belum ngeh saya sebel banget karena si ibu berkerudung merah dipanggil duluan. “Oh, dia sudah duluan, Bu,” jawabnya. Saya masih marah, bagaimana mungkin dia duluan, padahal saya tahu dia masuk belakangan? Saya masih cemberut, bahkan sampai si Mbak bilang semoga lekas sembuh pun tidak saya jawab.

Dalam perjalanan pulang, angin malam dingin menerpa wajahku. Si bebeb memacu motor matic-nya tidak terlalu kencang. Sakit di gigi pun tidak sesakit tadi. Ah, ternyata sanmolnya baru bereaksi. Tiba-tiba saya terpikirkan bahwa si ibu tadi bisa jadi pergi ke dokter lain kemudian menyerahkan berkas sebelum pergi ke dokter umum. Kalau seperti itu make sense sekali kalau dia didahulukan. Saya tertawa sendiri cekikikan, mentertawakan diri sendiri. Duh, ternyata sakit gigi juga bisa membuat nalar tidak terkontrol dan akhirnya emosi yang didahulukan. Maaf ya Mbak, sudah marah-marah.

Jum’at, 15 April 2016, Pukul 10.00

Sudah dua orang menunggu di ruang klinik ini, suster belum juga selesai bicara di telepon. Sepertinya masalah lumayan serius. Ih, siapa sih karyawan yang bandel ini yak, diurusin kok susah, runtuk saya dalam hati. Sambil menunggu, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tabung-tabung oksigen berjejer belum tersentuh, di sebelahnya ada tempat tidur pasien. Obat-obatan umum terlihat berada di dalam lemari kaca tersendiri. Paramedik yang lain sedang memisah-misahkan obat yang baru datang dari Apotek. Karyawan yang sakit dan berobat diklinik, biasanya obat ditebus oleh klinik di Apotek rekanan, sehingga karyawan tidak perlu pergi ke Apotek, hanya tinggal mengambilnya di klinik.

“Kenapa nong (nong adalah panggilan untuk perempuan di Banten)?” Tanya suster tiba-tiba membuyarkan pengamatan saya. Saya meringis menunjuk-nunjuk ke arah pipi, “Sakit gigi! Gigi yang miring itu.”

“Ih, elu mah, penyakit dipiara ye! Udah cabut aja!” Suara suster meninggi dengan mata khawatir. “Daripada lu sakit kepala terus-terusan, mending di cabut. Ngga apa-apa. Tinggal mangap doang. Lu daftar, mangap, pulang. Ngga usah bayar. Yang penting kalau gigi miring lu harus ke bedah mulut ya!” Cerocosnya ngga ada jeda.

“Takuuuut,” sahut saya. “Percaya deh, mending sakit sebentar daripada terus-terusan sakit kepala.” Saya masih bimbang dan ragu. “Iya Bu, saya juga dicabut dua-duanya. Setelah itu ngga pernah sakit lagi.” Teman yang juga datang ke klinik memberikan sarannya. “Nih, gue kasih nomornya yak. Terserah lu mau kemana. Mau di Bethsaida ada dokter Alex, lu tinggal sms perawatnya. Mau di Mayapada juga bisa, dokternya perempuan. Atau mau di Bona Medika, ada dokter Heri, lu tinggal telepon Bona Medika, nanti perawatnya telepon elu.” Katanya sambil menulisakan nomor-nomor telepon yang bisa saya hubungi. “Udah, Bismillah aja. Insya Allah, kagak nape-nape.” Dia menyerahkan secarik kertas berisi nomor kotak dokter-dokter bedah mulut.

“Oke deh thank you,” sahut saya dengan galau.

Gigi impaksi ini adalah gigi yang tumbuh dengan posisi tidak normal, bisa tertanam seluruhnya atau sebagian. Pada umumnya gigi yang mengalami impaksi adalah gigi geraham bungsu yang biasanya muncul saat usia sekitar 17 – 21 tahun.  Ada juga sih yang baru muncul di usia 25 tahun. Ada yang langsung jelas kelihatan, karena si gigi mencuat sebagian ke permukaan gusi, hanya saja miring posisinya. Ada juga yang tidak terlihat giginya, tahu-tahu gusinya bengkak sampai tidak bisa makan, seperti kasus teman saya, yang akhirnya ketahuan bahwa penyebabnya adalah si bungsu yang impaksi. Tidak tanggung-tanggung, langsung cabut sekaligus 3 gigi bungsu. 

Penyebabnya belum diketahui dengan pasti kenapa gigi ini bisa tidak tumbuh normal. Katanya sih karena rahang tidak mempunyai tempat yang cukup untuk tumbuhnya gigi geraham bungsu ini. Besar kemungkinan rahang yang sempit ada hubungannya dengan tekstur makanan yang dikonsumsi. Zaman dahulu katanya sih orang makannya yang keras-keras, jadi rahang lebih berkembang. Sekarang manusia lebih memilih yang praktis dan lunak. Ada salah satu teman yang cerita bahwa keponakannya rahangnya sempit, karena dari kecil hingga besar selalu dikasih yang lunak-lunak, seperti bubur.

Pada kasus saya, gigi impaksi timbul sebagian di permukaan gusi. Saat masih kecil, belum terasa sakit. Tapi begitu membesar, mulai terasa segala penyakit. Yang paling saya rasakan adalah sakit kepala terus menerus, dan juga bagian pundak terasa pegal. Saat harus pergi keliling plant, misalkan untuk kegiatan audit, helm yang saya pakai menambah penderitaan saya, karena kepala menjadi pening setelah beberapa lama memakainya ditengah terik matahari. Dan yang paling parah, kalau pas gigi bungsu kumat ngambek. Gusi bengkak! Suakitnya minta ampun.

Sabtu, 16 April 2016, Pukul 10.00

Bethsaida? Bona Medika? Siloam?

Saya galau. Asli galau. “Yah, mending di Cilegon aja atau ke Tangerang?” Saya meminta persetujuan. “Terserah,” jawabnya singkat. Ih, sebel! Tidak menghilangkan kegalauan saya. “Takut Yah,” kata saya pelan. “Cuma operasi ringan ini,” jawabnya enteng.

Operasi ringan. Saya menghela napas panjang. Operasi bedah mulut untuk mengangkat gigi impaksi memang operasi ringan. Tapi saya takut. Bagaimana jika saya alergi obat bius? Duh, cukup dulu mengalami alergi antibiotik, timbul bintik bintik merah atau yang di sebut steven johnson syndrome, yang menyebabkan saya harus minum obat berbulan-bulan lamanya. Bagaimana jika obat bius yang disuntikan salah. Saya teringat kasus di rumah sakit mewah yang terkenal, beberapa orang meninggal karena ternyata ampul bukan berisi obat bius, karena kesalahan dari manufakturnya? Belum lagi cerita kakak tingkat saya yang pernah dicabut gigi geraham oleh dokter gigi pembantu, yang menyebabkan masalah dengan rahangnya. Berbulan-bulan doi mengenaikan penyangga dan makan melalui sedotan akibat hal tersebut. Ah, pokoknya berbagai hal buruk muncul di benak saya.

“Wah, itu bengkaknya bisa seminggu,” kata seorang rekan kerja. Busyet, bengkaknya seminggu? “Pilih dokternya jangan yang perempuan. Kalau perempuan ngga kuat cabut gigi geraham,” kata yang lain. “Iya, Mbak. Saya aja kapok ke dokter gigi waktu cabut geraham. Dokternya ngga kuat nyabutnya, sampai lama digoyang-goyang cabut geraham dan menimbulkan sakit di mulut.

Obat yang diberikan dokter umum hanya membantu sementara, jika obat lupa diminum, kembali gigi cenat-cenut kembali. Akhirnya saya bertekad untuk melakukan operasi pengangkatan gigi bungsu ini. Dengan hati agak berat, saya beranikan untuk menelepon ke Bona Medika. “Mau daftar ke dokter bedah mulut, Mbak,” kata saya, “saya sudah rontgen paranomic 3 tahun lalu Mbak, jadi saya ngga mesti rontgen lagi kan?” Si Mbaknya menjawab, harusnya sih masa berlaku rontgen 6 bulan, tapi dia suruh saya membawanya saja saat periksa. Saya memang sudah melakukan rontgen paranomic jauh sebelumnya. Ya, sakit akibat si gigi bungsu yang rewel sebetulnya bukan kali ini saja. Jauh sebelumnya gusi pernah bengkak dan sakitnya ruaaar biasa. Tapi setelah diberi obat dan sembuh, saya pun melupakan rujukan dokter untuk rontgen paranomic dan konsultasi ke dokter bedah mulut. Dalam masa itu 2x si bungsu ngadat dan membuat gusi bengkak. 3 tahun yang lalu, sakitnya kambuh lagi, sehingga saya pun ke dokter gigi dan rontgen paranomic. Tapi berhubung besoknya saya mau berangkat haji, dokter gigi umum tersebut bilang, nanti saja setelah kembali dari Mekkah, takutnya malah nanti bengkak dan mengganggu perjalanan ibadah haji. Herannya, setelah kembali dari Mekkah, si bungsu adem ayem, ngga rewel. Saya pun lupa jika harus cabut gigi bungsu.

Senin, 18 April 2016, Pukul 10.00

“Halo Bu, Ibu daftar ke dokter Heri ya?” Suara perempuan terdengar di ujung gagang telepon di seberang sana. “Maaf, hari ini dokter Heri tidak bisa praktek. Besok baru praktek, bagaimana Bu?” Dia menjelaskan bahwa dokter Heri hanya praktek Senin sampai Kamis di Bona Medika, karena beliau tinggal di Bandung, dan hari Senin ini beliau tidak bisa praktek.

Masih galau, apalagi mendengar saran-saran dari teman yang pernah melakukan proses pencabutan gigi. “Di Siloam aja Na, dokternya canggih. Alat suntik biusnya kayak stepler. Kalau pakai suntikan, lo kebayang sakitnya,” saran seorang teman yang sebelumnya pernah mengalami operasi pencabutan gigi bungsu.

Ah, what ever will be, will be. Pain, please go away!

D-Day, Pukul 14.00

Setelah meminta ijin untuk early leaving, alias hanya kerja setengah hari, saya pun menuju ke klinik Bona Medika yang terletak di Kompleks Bonakarta. Saya sengaja tidak cuti, karena saya pikir jika saya cuti di rumah, menunggu sampai waktunya operasi akan semakin deg-degan ngga karuan. Saya juga akhirnya memilih di Bona Medika, klinik kecil dibandingkan rumah sakit besar. Saya malas jika harus ke Tangerang, walaupun sebetulnya tinggal duduk saja, karena rumah sakit menyediakan jemputan yang akan mengantar jemput saya. “Bismillah aja yak, banyakin minum air putih sama banyakin zikir,” kata suster sebelum saya berangkat keluar dari gerbang pabrik.

Klinik Bona Medika, jam segini sangat sepi. Ditambah lagi ruangan agak sedikit gelap dari biasanya. Entah sengaja dimatikan lampu penerangannya supaya hemat listrik atau lampunya lagi mati. Hanya ada satu dua orang pasien terlihat di ruang tunggu. Setelah mendaftar ulang, saya pun naik ke lantai atas. “Dokternya sudah ada, Sus?” Tanya saya. “Sudah Bu, dari jam 14.00 juga sudah datang. Biasa, siap-siap dulu.” Pasien pertama adalah saya, waktu perjanjian saya adalah jam 2.30 sore. Wah, tumben ada dokter yang datang jauh sebelum pasiennya datang, pikir saya.

Menunggu 30 menit yang menegangkan. Untuk membunuh rasa tegang, saya memainkan game andalan saya di android. Sampai akhirnya nama saya pun dipanggil. Bismillah!

“Kenapa nih?” Tanya si dokter membuka percakapan.
“Gigi saya miring, Dok. Sakit,” jawab saya meringis, “saya sudah rontgen paranomic, tapi 3 tahun yang lalu.”
“Coba saya lihat,” sahutnya. Saya pun menyerahkan amplop putih berisi hasil rontgen 3 tahun yang lalu. Dokter pun mengeluarkan isinya dan memasangnya di display lampu.
“Wah, ini mah harus di cabut 2, Bu. Yang depannya juga sudah kena,” kata Dokter.
Saya tercekat. Dua? “Sakit ngga, Dok?” Tanya saya khawatir.
“Ngga jamin ya Bu. Ya pasti ada sakitnya. Kalau saya bilang ngga sakit, saya bohong dong Bu,” jawabnya. “Siap, Bu?”
“Ya, sudah Dok, mau bagaimana lagi,” saya nekat. Soalnya walaupun sudah diberi antibiotik masih agak sedikit cekot-cekot.
“Masih sakit ngga giginya?”
“Sedikit. Agak mendingan setelah dikasih obat dari dokter umum,” saya mengeluarkan obat yang saya dapat dari dokter umum. Dokter Heri melihat sambil mengangguk, dan meminta saya ke kursi “eksekusi”.

Jangan ditanya degdegannya seperti apa. “Ulah tegang Bu, biasa wae,” kata dokter menenangkan. Saya menarik napas panjang, apalagi sepintas melihat jarum yang sedang disiapkan. “Si Ibu meuni tegang pisan. Santai wae Bu. Da ngga bakalan diperkosa ini.” Wkwkwk, coba kalau teman saya yang diajak ngomong kayak gini, mungkin dia bakal balik nantangin.

“Tes alergi dulu ya Bu,” terasa jarum kecil menyentuh pingiran permukaan dalam pipi disebelah gusi belakang. Oh, ternyata ngga awal suntik obat bius toh. Ada tes alerginya dulu, pikir saya. Sambil menunggu bereaksi, dokter mengajak ngobrol. Entah kenapa tiba-tiba obrolan menjadi menjurus ke tempat kuliah di Jatinangor dulu. Rupanya pak dokter ini angkatan tahun 90 kedokteran gigi Unpad. Wih, agak bangga dikit, ternyata anak gigi Unpad canggih-canggih. Akhirnya ngobrol seputar kampus deh, sampai ke unit pelayanan gigi segala.

“Ngga alergi. Yuk. Siap yak,” kata dokter setelah beberapa saat. Saya pasrah. Terasa sebuah benda menusuk gusi. Saya pikir pasti sakit nih. Eh, ternyata tidak sakit sama sekali. Tidak lama, sekitar gusi terasa menebal. Entah berapa kali tusukan. Saya merasa ada 2 kali tusuk. Tak berapa lama, rasa tebal merangsek menuju ujung bibir kiri. Saya menunjuk ke arah bibir. “Kebas,” kata saya. Tiba-tiba teringat cerita salah satu bos saya, istrinya sampai sekarang bibirnya sebelah tidak merasa akibat dicabut gigi. “Iya, memang kebas Bu, separuh bibir,” jawab dokter menenangkan kembali.

Cekrik. Cekrik. Cekrik. Terdengar seperti bunyi ujung gunting yang sangat kecil yang hanya bisa satu kali gunting. Antara bunyi cekrik satu dengan cekrik yang lain ada jeda. Entahlah apa gusi sedang dibuka? Kemudian, terasa seperti ada alat masuk dicelah sebelah luar gigi geraham belakang. Gigi seolah didongkrak ke atas beberapa kali. “Kerasa ngagebros nya?” tanya dokter, maksudnya terasa terperosok ya giginya. Ah, tapi saya ngga bisa merasakan bedanya sama sekali. Hihi. Kemudian terasa gigi dicabut dari tempatnya. Rasanya ngga sampai 2 menit, 2 gigi sudah berhasil dicabut. “Tinggal dijahit ya,” kata dokternya. Saya melihat benang untuk menjahit gusi yang berwarna hitam. Jarumnya tidak mirip dengan jarum jahit yang dipakai untuk menjahit baju. Sepintas sih mirip dengan kawat pendek. Tapi entahlah, saya tidak memperhatikan betul. Boro-boro ingin melihatnya. Hitungan saya sih ada 3 kali dokter mengganti benangnya untuk kemudian menjahit gusi yang terbuka.

“Udah, selesai. Ini digigit yak kapasnya selama 1 jam. Jangan makan panas, minum panas dulu,” kata dokter. Dih, tahu begini, mendingan dari dulu di cabut yak, pikir saya dalam hati. “Nih, giginya. Udah rusak banget kan?” katanya sambil menunjuk gigi yang barusan dicabut, “itu sampai besok darahnya masih keluar, jadi jangan kaget yak. Normal kok.” Dokter kembali ke meja dan menulis resep.

“Bengkak ngga dok sesudahnya,” tanya saya. “Bengkak lah. Kalau saya bilang ngga bengkak berarti saya bohong,” jawabnya lagi cuek, dan tetap melanjutkan menulis resep. “Tenang, saya kasih obat penghilang rasa sakit yang bagus juga anti bengkaknya,” lanjutnya lagi. “Mulai diminum kapan dok itu obat?” Tanya saya. “Sekarang langsung minum,” ujar dokter. “Dok, ini mulai agak senut-senut,” potong saya. “Oh, ya udah, nih kamu secepatnya tebus obatnya, langsung minum ya,” kata dokter. Saya langsung berdiri dan angkat kali, lari ke lantai bawah. Wah, gawat nih kalau sampai telat minum obat pereda sakit.

Setelah minta minum sama si Mbak penjaga apotek, saya pun langsung minum obat anti sakitnya, Celebrex. Jiah, sama halnya seperti sanmol, ternyata obat ini tidak langsung bereaksi. Suster pun memerikan obat-obatan lainnya dan memberikan struk pembayaran yang harus saya tanda-tangani. Wow! Cabut 2 gigi ternyata lumayan juga harganya. Untuk ditanggung penuh.

Penderitaan ternyata masih panjang. Karena saya sok mandiri, saya pergi cabut gigi sendiri. Tapi ternyata terasa banget, apalagi naik angkotan umum. Mau bilang stop aja susahnya minta ampun, karena mulut isinya penuh ludah semua. Mau ditelan kok agak sisih karena bercampur darah. Emang sih darah sendiri. Tapi tetap saja merasa bagaimana gitu. Sebetulnya sih disuruh ditelan karena kalau diludahin katanya mengganggu pembekuan darah.

Kepala pun rasanya nyut-nyutan. Haduh, obatnya belum bereaksi. Rasanya pengen cepat sampai di rumah. Mamang ojek pun sampai khawatir, “ngga apa-apa itu, Bu. Masih banyak keluar darah?” Haduuh, maaf ya Mang, bukannya ngga mau jawab. Susah mau buka mulut Mang, masih gigit kain kasa di gusi yang dibedah.

Sampai di rumah, langsung ganti baju, langsung tidur, walaupun tetap hanya bisa gulang-guling selama lebih dari 30 menit. Baru kemudian berangsur-angsur membaik, tidak terasa sakit. Sejak itu gusi yang dibedah tidak sakit selama minum obatnya tepat waktu.

Nah, berkaca dari pengalaman saya, jadi:

1.     Jika gigi bungsu dipastikan impaksi, mau dia posisinya miring atau horizontal, mending dicabut deh, daripada nyesel seperti saya akhirnya 2 gigi yang dicabut karena sudah merusak bagian depannya. Beberapa dokter malah menyarankan untuk mencabut gigi ini saat usia 18 tahun jika sudah terdeteksi melalui rontgen paranomic.
2.     Operasi bedah mulut untuk pengangkatan gigi impaksi ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Saat disuntik obat bius pun tidak sakit kok. Malah sakitnya sesudahnya. Itupun paling selama 1 jam sebelum obat penghilang rasa sakit bereaksi. Daripada sakit kepala terus menerus, lebih baik senut-senut selama 1 jam deh.
3.     Gigi impaksi bisa menyebabkan sakit kepala terus menerus, karena dia tumbuh mendesak saraf. Terkadang bisa juga menimbulkan gangguan pada telinga dan mata.  Pada kasus yang lebih serius, jika dibiarkan akan menimbulkan kista atau tumor. Seram yak.
4.     Gigi impaksi sebetulnya bisa dicabut bisa tidak, tergantung letak dan posisinya. Lebih baik sih langsung dikomunikasikan dengan dokter bedah mulutnya.
5.     Saat operasi enaknya sih ada yang nemenin. Biar ada yang bisa foto-foto buat blog, eits, ngga denk, biar pulang ada yang mendampingi. Kemarin saya sok jago, sok mandiri. Tersiksa deh. Hihihi.
6.     Setelah operasi, jangan makan yang panas-panas karena akan mengganggu proses pembekuan darah. 

Kamis, 21 April 2016

Aku & Sabang, Pulau Surga Yang Damai, Pariwisata Unggulan Aceh

Sabang Pesona Wisata Bahari Pariwisata Unggulan Aceh
Tak terasa sudah 76 tahun aku terbaring di keheningan dasar laut Sabang. Sinar matahari terkadang menembus ke dalam tubuhku, memberikan sedikit kehangatan pada tubuhku yang dingin. Tubuhku sudah tidak semolek dulu. Kulitku sudah terkelupas termakan waktu dan cuaca. Dan entah sejak kapan, tumbuhan-tumbuhan dan hewan-hewan ini menempel di tubuhku. Awalnya aku geli dan jijik, tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan kawan kecilku yang berkeliaran dan bergerak di setiap lekukan tubuhku dan mulutnya yang monyong menyentuh kulitku yang tertutup karang.

Sabtu, 16 April 2016

Perjalanan Umroh Plus Turki Aman dan Asyik Bersama Cheria Travel

umrah plus turki cheria wisata travelKeinginan Azka & Aisya

“Bu, Uwa tahun ini berangkat haji ya?” Tanya Aisya suatu malam. “Berangkatnya sendiri ya Bu?” Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban sebenarnya. Tahun ini kakak ipar saya Insya Allah akan menunaikan ibadah haji. Seharusnya berdua bersama suaminya. Namun Allah berkehendak lain, suaminya dipanggil lebih dahulu menghadap-Nya tahun lalu. “Hmmm,” saya menggumam mengiyakan pertanyaannya. “Aku juga ingin pergi berhaji, Bu,” sahut Azka. “Aku juga,” adiknya tidak mau kalah. “Oh, bagus itu,” jawab saya, “ya Allah, kabulkanlah.”

Jumat, 15 April 2016

Pulau Seram, Wisata Murah Meriah Warga Kampung Nelayan Ketapang

pantai pulau seram wisata murah di lampung selatan
“Pulau Seram?” Tanya saya memastikan, yang dijawab dengan anggukan kecil. Wah, ternyata Lampung juga memiliki pulau yang bernama Pulau Seram, seperti halnya di Maluku.

Pulau Seram merupakan salah satu pulau di Kecamatan Ketapang Lampung Selatan. Totalnya ada 9 buah pulau kecil yang terletak di Kecamatan ini, yaitu: Pulau Mundu, Pulau Seram, Pulau Seram Kecil, Pulau Kopiah, Pulau Rimau Balak, Pulau Rimau Lunik, Pulau Tumpel, Pulau Tumpel Lunik, Pulau Suling. Dua pulau yang disebutkan terakhir ini saya tidak menemukannya di Google Earth. Entah dimana keberadaan kedua pulau ini. Pulau Seram yang akan kita kunjungi adalah Pulau Seram Besar, atau warga nelayan setempat sering menyebutnya Pulau Gede. Mungkin karena ini adalah pulau paling besar yang dekat dengan Desa Nelayan Ketapang.

Rabu, 13 April 2016

Serunya Berburu Ikan Segar di Kampung Nelayan Ketapang Lampung Selatan

kampung nelayan ketapang lampung selatanMiscommunication Again!

Terompet panjang tanda berakhirnya perjalanan menyeberangi Selat Sunda telah berbunyi. Semua pengendara bermotor, penumpang telah bersiap-siap untuk keluar dari dalam perut kapal. Si Jenderal Hitam pun melaju begitu mulut kapal terbuka. First In First Out. Sepertinya kapal pun menganut sistem FIFO, kapal yang masuk duluan akan keluar duluan.

Selasa, 12 April 2016

Rencana Yang Berantakan Hingga Merry Riana Impian Sejuta Dollar

penyeberangan merak bakauheni
“Ya Allah!” Saya berteriak, kaget meloncat dari tempat tidur. Sayup-sayup terdengar suara Adzan di masjid kompleks terdengar. “Kaka, Dede, bangun! Kita kesiangan!” Dengan panik, saya mengguncang-guncang tubuh anak-anak yang masih terlelap tidur. “Astagfirullah! Kok bisa alarmnya ngga bunyi?” Saya mencari-cari handphone saya di tumbukan bantal, dan hanya bisa bengong melihatnya dalam keadaan mati. Saya pun secepatnya menggiring anak-anak menuruni tangga menuju kamar mandi bawah. Ayahnya anak-anak sudah tidak terlihat, sudah bisa ditebak sekarang sedang berada di masjid. Sambil membuka baju anak-anak, saya mengganti baterai handphone, dan mencoba menelepon teman saya, minta maaf karena terlambat.

Minggu, 10 April 2016

Satu Hari Yang Terik Di Tugu Monas

Di usia saya yang menjelang 40 tahun ini, belum pernah sekalipun saya menginjak Monumen Nasional, atau orang sering menyebutnya dengan Tugu Monas. Beberapa kali menginjak kaki di Jakarta, dan beberapa kali pula melewati kawasan Monas, tapi tidak pernah sekalipun berhenti untuk sekedar mengambil foto di sini. Tugu Monas, yang menjadi landmark Jakarta, dibangun pada tahun 1961 atas perintah Presiden Sukarno untuk membangun ikon yang setara dengan Menara Eiffel.

Sabtu, 02 April 2016

Mengenal Sejarah, Budaya & Tradisi Palembang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Arsitektur Eropa Berwarna Lokal

"Jika timbangan bajunya tidak sama antara baju laki dan baju perempuan, artinya mereka tidak berjodoh," jelas pemandu wisata di Museum sultan Mahmud Badaruddin II, menjawab pertanyaan saya mengenai fungsi timbangan yang ada dalam display adat penikahan Palembang.

Waduh! Baju bawaan pengantin pria dan wanita harus seimbang, dan kalau tidak sama mereka harus bercerai? Suatu pekerjaan yang  sulit rasanya, mengingat pakaian wanita lazimnya lebih banyak dibandingkan laki-laki. Pakaian saya di lemari saja dijamin lebih banyak entah berapa kali lipat dibandingkan pakaian suami saya. Pikiran saya pun berkelana liar, berapa banyak baju yang harus ditimbang? Apa semua baju kepunyaan pengantin harus ditimbang? Belum habis pertanyaan mengenai makna timbangan dalam adat penikahan Palembang, pemandu yang ramah ini pun menjelaskan kembali mengenai tumpukan bantal dalam adat Palembang atau Sumatera Selatan.

“Ibu lihat tumpukan bantal di sana?” Tunjuknya pada tumpukan bantal yang terletak di atas display ranjang pengantin, saya pun mengangguk. “Nah, tingginya bantal menunjukkan status sosial pengantin. Semakin tinggi tumpukan bantal, menunjukan pengantin adalah orang terpandang, keturunan bangsawan atau raja-raja, dan jika tumpukan bantalnya pendek, menunjukkan dari kalangan rakyat kebanyakan.


Sungguh asyik, jika kita datang ke suatu museum dan staff-nya ramah menjelaskan mengenai informasi koleksi beserta sejarah dari koleksi museum. Pengalaman yang sungguh berharga yang saya rasakan berkunjung ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Banyak informasi pengetahuan yang didapat mengenai suatu tempat, jika kita mengunjungi museum budaya yang berada di tempat tersebut. Membawa anak-anak berwisata ke museum adalah salah satu pembelajaran untuk mengetahui keanekaragaman budaya bangsa sekaligus mengenal sejarah. Saya sendiri berpendapat bahwa belajar tidak melulu harus duduk di bangku sekolah. Melakukan traveling adalah salah satu cara belajar. Bukan hanya pengetahuan yang bisa diperoleh, tapi juga belajar kepribadian anak pun akan semakin berkembang.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II terletak di sebelah Benteng Kuto Besak, di depan Dermaga Wisata dan tidak jauh dari Monumpera serta Mesjid Sultan Mahmud Badaruddin I. Waktu operasional museum ini adalah jam 08.00 - 16.00 setiap hari Senin – Jum’at, dengan waktu istirahat jam 12.00 – 13.00, kecuali di hari Jum’at pukul 11.30 – 13.00 dikarenakan bertepatan dengan sholat Jum’at. Hari Sabtu, Minggu dan Hari Libur buka jam 09.00 – 15.00 WIB.

Untuk masuk ke dalam museum, kita harus menaiki anak tangga yang memutar di sayap kanan dan kirinya. Ya, museum ini dilengkapi dengan tangga yang melintir di kedua belah sisinya. Perpaduan antara arsitektur Eropa yang kental tetapi masih menyisakan warna lokal dilihat dari keberadaan dua tangga ini. Mirip dengan rumah-rumah panggung yang juga memiliki tangga di kedua sisinya. Karcis masuk bisa dibeli dibagian depan, untuk dewasa Rp 5.000/orang dan anak-anak Rp 1.000/orang. Sedangkan untuk orang asing Rp 15.000/orang. 

Mengenal Sosok Pahlawan Pada Selembar Uang 10.000

Museum Sultan Badaruddin II, terletak di kawasan wisata Benteng Kuto Besak di tepian Sungai Musi. Hmmm, siapa sih Sultan Mahmudd Badaruddin II ini? Kok namanya bisa diabadikan sebagai salah satu museum di Palembang? Kita semua sebetulnya pernah melihat wajahnya lho. Hayoo! Dimana?

Pernah memperhatikan uang kertas Rp 10.000? Azka sering menyebutnya uang ungu jika merengek meminta uang untuk membeli sesuatu. Nah, gambar pahlawan yang ada di uang pecahan Rp 10.000 itu adalah gambar Sultan Mahmud Badaruddin II. Sultan yang bernama kecil Raden Hasan Pangeran Ratu ini terkenal gigih dalam mempertahankan wilayah kesultanan Palembang dari tangan kolonial Belanda dan Inggris, sebelum akhirnya sultan beserta keluarganya diasingkan ke Ternate. Duh, ternyata Palembang masih berhubungan dengan Ternate ya. Jadi ingat wonderful eclipse-nya Ternate yang katanya sempurna.


Sultan Mahmud Badaruddin II lahir pada malam Minggu, tanggal 1 Rajab 1181 Hijriah. Membaca biografi sultan, entah kenapa timbul rasa salut saya padanya. Bulu kuduk saya berdiri membaca kisah perlawanan dan keberhasilannya membuat pasukan Belanda beberapa kali harus angkat tangan kembali ke Batavia dengan tangan hampa. Saya melihat sosok sultan yang tidak hanya kaya raya, tetapi juga pintar strategi. Jika bukan karena kelicikan Belanda, saya yakin sultan akan tetap berhasil mempertahankan Palembang. Karena jasa dari putra Sultan Mahmud Badaruddin I inilah maka namanya diabadikan menjadi nama museum selain diabadikan sebagai nama bandara internasional Palembang. Lengkap ya, diabadikan dalam uang resmi negara Indonesia, nama museum, juga nama bandar udara. Pastinya sosok sultan yang satu ini memang keren sekali.


“Bangunan ini bekas istana raja?” Tanya saya penasaran, ingin tahu mengenai seluk beluk bangunan museum ini. “Oh, bukan. Ini dulu bekas rumah dinas Residen Belanda,” Jawab pemuda pemandu dengan ramah dan berusaha menjelaskan dengan sedetail mungkin. Usianya mungkin sekitar 19 atau 20 tahun, dia mengenakan jas almamater dari kampusnya. Bangunan museum ini, pada zamannya pasti merupakan bangunan termegah. Sisa-sisa kecantikan arsitektur Eropa masih terlihat pada gedung tersebut. Berukuran panjang 32 meter, lebar 22 meter dengan ketinggian 17 meter, bangunan ini dibangun pada tahun 1823 sampai 1825, yang kemudian menjadi tempat tinggal komisaris kerajaan Belanda di Palembang, Yohan Isaac van Sevenhoven. Konon sebelum bangunan ini berdiri, di sini terletak keraton yang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada sekitar tahun 1737 M, yang dihancurkan pada tahun 1821 dengan diasingkannya Pangeran Ratu bersama keluarga ke Ternate. Jadi saya tidak terlalu salah juga ya menebak bahwa bangunan ini adalah bekas istana sultan. Toh di sini pernah berdiri Keraton Kuta Kecik atau Keraton Kuta Lama sebelum berganti menjadi bangunan keresidenan.

Setelah berjalan ditariknya matahari Palembang, telapak kaki terasa nyes dingin saat menginjak lantai kayu museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Ya, memasuki area bangunan dalam, kita diminta untuk menyimpan alas kaki di tempat yang telah disediakan. Bangunan terbagi menjadi beberapa ruangan. Awalnya agak bingung, ambil haluan kiri atau ambil haluan kanan terlebih dahulu. Dua-duanya sama mengasyikan. Di sebelah kiri, kita akan menyaksikan koleksi museum replika prasasti batu Kedukan Bukit, Talang Tuo, Boom Baru dan Telaga batu. Sedangkan di sebelah kanan, kita akan melihat lukisan-lukisan ilustrasi perang Palembang 1821 juga silsilah raja Palembang.

Kain Emas Berharga Ratusan Juta Rupiah

Kami memilih memulai dari tengah, melewati sebuah pintu berwarna merah, yang langsung berhadapan dengan lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II. Inilah main hall museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Di ruang ini terdapat display replika Rumah Limas yang merupakan rumah adat Sumatera Selatan, replika mesjid agung Sultan Mahmud Badaruddin I, berbagai jenis koin dan berbagai jenis kain dan senjata. Juga terdapat baju yang digunakan masyarakat Palembang dan perlengkapan pakaian yang dikenakan sultan.

“Ini adalah replika pakaian sehari-hari yang dikenakan wanita Palembang zaman dahulu,” kali ini seorang perempuan muda yang menerangkan kepada kami, ketika kami melewati display yang berisi kain-kain khas Palembang serta sebuat patung wanita yang mengenakan kain mirip baju kurung dan kain tenunan sarung serta kerudung penutup kepala dan caping. Kulirik sekilas namanya Niken. Sama seperti pria muda di sebelahnya, gadis muda ini sepertinya juga mahasiswi di salah satu kampus di Palembang. “Saat keluar rumah, wanita Palembang menutup kepalanya,” lanjutnya lagi. “Wanita yang sudah menikah mengenakan kain selendang di pundaknya, tanda bahwa dia sudah siap memomong anak.”


Di main hall museum Sultan Mahmud Badaruddin ini juga dipamerkan macam-macam kain yang biasa dikenakan dalam budaya Pelambang atau Sumatera Selatan, seperti sewet tanjung yang terbuat dari benang sutera, biasanya yang dikenakan oleh pria disebut gebeng atau tanjung rumpak, sedangkan yang dikenakan wanita disebut tanjung blongsong. Ada juga kain songket yang termasyur itu. Konon harga sehelai kain songket bisa menyentuh angka puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Wajar saja karena pembuatannya pun memerlukan waktu 3 bulan, serta melibatkan benang emas yang membuat kain songket sedikit lebih berat dan indah berkilau keemasan. Songket sudah terkenal sejak zaman Sriwijaya dan Kesultanan Palembang. Jika ingin melihat bagaimana kain ini dilestarikan, datanglah ke Sentra Kerajinan Songket Tanggo Butung yang telah ada sejak ratusan tahun lampau.

Selain songket, ada pula kain semage dan kain pelangi. Kain semage ini berasal dari Siam dan Kamboja, kain ini biasanya dipakai untuk ritual perkawinan dan kematian atau upacara adat lainnya.

Memasuki ruangan lain, kita melalui sebuah pintu merah berukir dengan ukuran sedikit lebih sempit. Awalnya saya pikir itu kaca, ternyata bukan. Haha, jadi seolah melangkahkan kaki memasuki kaca. Saya tidak tahu kenapa saya merasakan seperti itu. Di dalam ruangan tersebut terdapat satu set furniture meja kursi zaman dahulu.

Laju Perahuku Laju

Semakin masuk ke dalam, terdapat diorama perahu-perahu khas Palembang. Owh, ternyata ada beberapa jenis perahu yang digunakan masyarakat sejak zaman dahulu. Ada Perahu Bidar yang diperlukan untuk pengangkutan dalam gerak cepat. Dahulu kala, jika para bangsawan pergi berwisata menggunakan perahu pelancong, maka akan dikawal oleh beberapa Bidar yang berfungsi untuk membawa bekal dan perlengkapan lainnya. Tetapi pada masa sekarang, Bidar ini lebih berfungsi sebagai alat olah raga yang sering dilombakan.

Ada juga Perahu Model. Masyarakat Palembang, sejak zaman dahulu telah menempati tempian Sungai Musi. Rumah berderet di sepanjang aliran sungai. Penjaja barang atau makanan keliling pun menggunakan perahu, dan salah satu makanan yang dijajakan adalah model yang lebih terkenal dibanding makanan lain. Sehingga perahu ini pun dinamakan Perahu Model. “Perahu ini adalah perahu untuk berjualan pempek, Bu,” jelas lelaki muda yang sedari tadi menemani kami berkeliling. “Kalau Ibu pergi ke plaza Benteng Kuto Besak, disitu ada perahu pempek yang enak.” Wah, mendengar kata pempek dan enak, langsung radar di kepala berbunyi bip bip bip. Wah, harus coba nih, sensasi makan pempek enak sambil bergoyang di Sungai Musi. “Oya? Jam berapa? Kok kemarin malam saya tidak melihatnya?” Tanya saya penasaran. “Biasanya sih jika sudah habis, mereka langsung pulang Bu,” jawabnya. “Oh, kehabisan mungkin ya kalau sudah malam?” Saya menggumam sambil melirik ke arah replika perahu lainnya, yaitu Perahu Kajang atau Perahu Kayuagung, yang lebih besar serta ditutupi oleh atap yang cukup kokoh. Perahu Kajang ini terdiri dari beberapa ruangan yang berfungsi untuk berdagang, tempat tidur, memasak dan lainnya. Dahulu perahu ini digunakan untuk berdagang dengan jarak yang cukup jauh dan umumnya para pedagang ini membawa serta keluarganya. Disamping Perahu Kajang, ada juga perahu pengangkut beras dan perahu untuk menangkap ikan.

Gadis Palembang Harus Bisa Menenun

Di beberapa display kaca selanjutnya terdapat piring-piring keramik dan juga cetakan besi untuk membuat kue atau penganan kecil zaman dahulu. Ternyata cetakan kue pancong juga telah ada sejak zaman dahulu.

Tidak jauh dari situ terdapat peralatan tenun. Kain-kain cantik seperti songket, dibuat dengan menggunakan alat tenun ini. Seperangkat alat ini terdiri dari gulungan benang, alat untuk merentangkan benang, alat untuk memasukan benang dan mengangkat benang. Alat tenun juga disebut gedokan.


“Zaman dahulu para gadis harus bisa menenun Bu,” kembali pemuda pendamping tadi menjelaskan, “kalau tidak bisa menenun, tidak ada lelaki yang suka.”

“Waduh? Segitunya? Untung saya bukan gadis Palembang yang wajib bisa menenun songket,” saya tergelak, sekaligus membayangkan jika saya seorang gadis Palembang yang wajib bisa menenun kain songket. Aduh, saya nyerah deh, langsung mengibarkan bendera putih. “Itu kan zaman dahulu, Bu. Sekarang sudah tidak seperti itu,” jawabnya sambil tersenyum.

Di bagian ruangan tempat alat tenun ini berada, terdapat pula peralatan untuk tradisi khitan yang di Palembang umumnya dilaksanakan pada anak laki-laki usia 6 – 8 tahun yang telah khatam Al-Qur’an. Anak laki ini dihias dan diarak. Upacara khatam qur’an ini dilaksanakan pada hari Ahad dan pada hari Seninnya anak tersebut disunat. Di museum ini juga diceritakan tradisi lain yang dilakukan pada acara khitan tersebut. Informasi yang terdapat di sini cukup lengkap. Tidak hanya tersaji dalam bahasa Indonesia tetapi juga dalam bahasa Inggris.

Semakin Tinggi Bantal, Semakin Tinggi Status Pengantin

Nah, yang penasaran dengan tradisi pernikahan orang Palembang, bisa berkunjung ke sini juga. Ternyata adat pernikahan Palembang banyak tahapan yang harus dilalui. Entah, mungkin ada sampai 15 tahapan dari mulai pendekatan, pernikahan sampai sesudahnya. Pelaminan dan tempat tidur pengantin menurut saya sangat glamor, penuh dengan warna kuning keemasan. Pelaminan terbuat dari kayu yang syarat dengan ukiran-ukiran cantik keemasan. Menurut suamiku, sepertinya ukiran Palembang ini sangat terkenal, sampai ada yang khusus mendatangkan ukiran ini untuk membangun rumah di tanah Jawa.


Di sebelah pelaminan, kita disajikan pandangan kamar tidur pengantin. Seperti yang disebutkan di atas, jika bantal yang tertumpuk banyak, menunjukkan status sosial yang tinggi dari pengantin. Mendengarkan penjelasan tentang ketinggian bantal, Aisya berbisik-bisik di telinga saya, “kalau bantalnya tinggi sekali, tidurnya bagaimana Bu?” Saya ingin tertawa mendengar pertanyaan polosnya, saya bercandain dia, “Tidurnya mah merem dong, sama.” Aisya hanya nyengir mendengar jawaban saya.

Begitu pula dengan timbangan yang disebutkan di atas bahwa jika tidak sama berarti tidak berjodoh. Salah seorang teman perempuan asal Palembang berkata, “itu sih cara halus menolak laki-laki. Biasanya jika perempuannya tidak suka, ya dicari-cari alasan.” Sedangkan teman yang berasal dari Pagar Alam bilang bahwa baru kali ini mendengar ada tradisi seperti itu. Menurut teman tersebut yang ada adalah tradisi memakai pacar untuk mewarnai tangan. “Konon kabarnya, jika seorang gadis sudah tidak perawan, seberapa pun pacar yang kita kasih, tangan tetap terlihat pucat,” jelasnya.  Teman juga menggambarkan bahwa pernikahan adat di Sumatera banyak sekali tahapannya. “Capek deh pokoknya. Makanya aku cari orang Jawa,” katanya sambil tertawa terbahak.


Ternyata Indonesia itu kaya sekali akan budaya ya. Pernikahan pun berbagai macam tradisi. Kalau di tempat teman-teman tradisi pernikahannya seperti apa? Sharinf yuk!

Oya, yang penasaran mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, gampang kok jika hendak ke sini. Letaknya percis di sebelah Benteng Kuto Besak. Jika melalui kendaraan umum, juga gampang, karena hampir sebagian besar transportasi di Palembang melalui kawasan Benteng Kuto Besak.