Sudah beberapa
bulan berlalu sejak meninggalkan Bandung pagi itu. Saya pun sudah kembali ke
rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan karyawan. Meeting, audit,
membuat laporan, kembali menghiasi hari-hari saya. Tetapi ada sesuatu yang
terus-menerus mengiang bagaikan suara lebah di telinga saya yang tak jua mau
hilang. Perkataan Nyoman Nuarta pada suatu sore di NuArt Museum, NuArt Sculpture Park.
"Bangsa
kita perlahan telah kehilangan identitas diri!"
Itulah
kata-kata Nyoman Nuarta yang membuat saya termenung. Betulkah bangsa ini telah
kehilangan identitas diri?
Setelah
perjalanan menyenangkan bersama para peserta #150KMAway, Go Vakansi, ZEN Rooms
dan Foody beberapa bulan lalu; saya memutuskan untuk tidak ikut pulang bersama
rombongan. Saya memilih bertahan satu hari lagi di Bandung, tentunya dengan
izin suami dan anak-anak. Kebetulan ibu dan ayah saya sedang berada di rumah
adik saya di Bandung. Sekalian melepas kangen, toh tidak setiap waktu saya
dapat bertemu mereka.
Berkeliling
Kota Bandung bersama keluarga tentunya menyenangkan, walaupun ada sesuatu yang
hilang, yaitu tawa canda Azka dan Aisya, serta keributan yang sering mereka
timbulkan. Well, I missed them all.
Menikmati
makanan khas Sunda di sekitaran Kota Bandung, mengingatkan saya pada masa-masa
perkuliahan dahulu, di suatu waktu saat menjadi mahasiswa kere plus kerempeng.
Banyak yang telah berubah di sini. Tetapi alunan kecapi suling, degung serta
lagu Sunda yang mendayu, tetap membuat perasaan saya terhanyut. Inilah Tatar
Sunda! Tanah tempat saya dilahirkan yang selalu saya rindukan. Interior khas
Sunda pun mewarnai tempat makan ini, lengkap dengan aroma kayu serta bambu yang
sudah lama tidak saya rasakan.
Mata
saya terdistraksi saat membaca tulisan lucu-lucu di dinding, dirangkai dalam
bahwa Sunda yang membuat saya tersenyum geli. Tapi, ada sesuatu yang aneh di
sana. Tiba-tiba saya menyadari bentuk-bentuk papan reklame bertuliskan
kata-kata lucu itu tersusun mirip gaya di film-film koboy Amerika. Saya pun
baru menyadari bahwa penerangan lampu menggunakan lampion-lampion seperti di
Jepang atau China. Wah, gaya apa ini sesungguhnya? Fusion sekali ya, alias
bercampur baur nuansanya. Dan entah kenapa, saya teringat kembali omongan
Nyoman Nuarta tentang bangsa yang kehilangan identitas.
“Kenapa orang Asing selalu mengidentikkan Bali
dengan Indonesia?” Nyoman Nuarta bertanya ke hadapan peserta #150KMAway waktu
itu, “padahal di Indonesia, banyak
sekali tempat-tempat yang tidak kalah bagusnya dengan Bali?” Tiada seorang dari
kami pun, saat itu bisa menjawabnya. Menurut Nyoman Nuarta, karena sebagian
besar dari kita telah melupakan identitasnya. Bangga dengan
kebudayaan-kebudayaan asing dan melupakan identitasnya sendiri. Hmmm, mungkin
di dunia blogger istilah identitas ini seperti halnya branding kali yak. Saat
kita tidak mengenal diri kita sendiri, tidak mengenal kekuatan dan kelebihan diri
sendiri, kita selamanya tidak akan dihargai. Untuk dihargai, kita harus mengetahui
identitas kita, mengenalnya dan mencintainya.
Nyoman
Nuarta, seniman yang karyanya telah mendunia ini, berbicara dengan kencang siang itu di halaman NuArt Sculpture Park. Di
hadapan para peserta #150KMAway yang terdiri dari para travel dan food blogger.
Beliau merasa sedih melihat bangsa kita sepertinya tidak dihargai di kancah
internasional. Banyak cerita bagaimana stand-stand Indonesia yang sepi saat
pameran atau exhibition di luar negeri. Belum lagi kisah-kisah durjana yang seolah terus membayangi negeri ini, seperti pemerkosaan, penggusuran, perampokan, pertikaian antar warga semakin menjadi-jadi. Beberapa waktu lalu, kita disuguhkan berita mengenai kematian tragis seorang siswi akibat perbuatan bejat tetangganya. Belum lagi setiap hari kita disuguhi dengan berita-berita pejabat yang korupsi, kurang empati dengan penderitaan masyarakat dan lainnya. Kita seolah telah lupa untuk apa kita terlahir di dunia ini.
Berangkat
dari keprihatiannya, mengenai identitas bangsa, mengenai kiprah seniman yang terkadang dipandang sebelah mata, dan keinginannya berkreasi untuk bangsa, Nyoman Nuarta mendirikan NuArt Scupture Park yang saat ini
terbuka gratis untuk pengunjung. NuArt Scupture Park juga menggelar perhelatan
bertajuk “Mulat Sarira Nagri Parahyangan”. Mulat Sarira diartikan sebagai
melihat atau menoleh ke dalam diri kita sendiri. Di Jawa, mulat sarira ini
harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dimana seorang pemimpin harus berani
menginstrospeksi diri sendiri, mencari kebaikan dan keburukannya sendiri sebelum
menoleh kepada orang lain. Sedangkan di Bali, Mulat Sarira dijadikan pedoman
hidup untuk tidak mencari kesalahan terlebih dahulu kepada orang lain.
Mulat
Sarira juga bisa diartikan sebagai menoleh kembali kepada akar hidup, ajaran
moral yang telah disemai oleh nenek moyang dan para pendahulu kita, kembali ke
akar kultur, menemukan identitas diri yang spesifik. Menurut Nyoman, dari
situlah akan muncul kebanggaan dan rasa percaya diri sebagai bangsa. Perbedaan
yang ada pada Bangsa Indonesia bukanlah alasan untuk perselisihan, tetapi lebih
untuk membangun rasa kebersamaan dan persaudaraan, seperti halnya ajaran
Sutasoma beberapa abad yang lampau. Mudah-mudahan, apa yang dicita-citakan Nyoman Nuarta, untuk supaya bangsa ini kembali mengenal identitas dirinya untuk kemudian menjadi bangsa yang kuat dapat terwujud ya.
NuArt
Sculpture Park
Terletak
di Jl. Sentraduta Raya L-6, Bandung, tempat yang mempunyai keseluruhan luar 3
hektar ini akan memanjakan para pencinta seni. Bagaimana tidak, tempat ini
memperagakan karya Nyoman Nuarta dari sejak awal karirnya hingga saat ini.
Nyoman Nuarta terkenal dengan masterpiece Garuda Wisnu Kencana yang saat ini
masih berlanjut pembangunannya.
Garuda Wisnu Kencana di Bali, masih in progress |
Miniatur Garuda Wisnu Kencana di salah satu ruang NuArt Sculpture Park |
Bertandang
ke sini, akan membuat kalian berdecak kagum. Saya bukan penggemar patung sebetulnya.
Suka agak weird saja jika berada di
tengah-tengah kumpulan patung. Berasa ada yang bersembunyi di balik patung itu.
Apalagi jika patungnya bersosok manusia. Berasa ada yang mengamati. Tapi di sini saya saya bisa merenungi setiap filosofi hidup yang terdapat di balik setiap karya Nyoman Nuarta.
Di gerbang
kedatangan kita disambut oleh tangan besar dimana di telapaknya terdapat sebuah
patung manusia. Kehidupan kita ini telah ada yang mengatur, semua akan kembali
kepada Penciptanya.
Memasuki
lantai satu, banyak terdapat hasil pahatan beliau yang rata-rata terbuat dari
perunggu. Ada beberapa karya yang saya ingat yaitu, Rush Hour, Durjana, Sel Kelabu,
Devi Zolim, dan lainnya. Sayangnya, karena waktu yang sangat singkat, jadi saya
tidak sempat mengeksplore semua ruang exhibition ini.
Setiap
sculpture mempunyai filosofi masing-masing. Contohnya mengenai sculpture berjudul
Durjana. Digambarkan sebagai sosok dua laki-laki yang berdampit. Lelaki sebelah
kiri memegang pisau yang disembunyikan dibagian belakang tubuhnya. Sedangkan
lelaki kanan, tangannya menyambut seekor merpati yang hinggap. Menurut pemandu,
sculpture ini menggambarkan dua sisi sifat manusia. Setiap manusia mempunyai
sisi baik yang ingin diperlihatkan dan sisi jelek yang ingin selalu
disembunyikan. Hmmm, mungkin benar bahwa dalam setiap diri kita ada sisi jahat
yang tersembunyi atau ingin kita sembunyikan. Melihat patung ini saya jadi
terpikir, seberapa banyak sisi jahat menguasai diri seorang manusia, dan kapan
dia akan mengambil alih sisi malaikatnya.
Diva Zolim, dewi keadilan tapi tangan dan kakinya terbelengu. |
Masih
banyak sebetulnya karya lainnya dengan filosofi kehidupannya. Lain kali, jika
punya waktu luang berlibur ke Bandung, saya ingin berkunjung kembali ke sini.
Banyak karya yang belum saya lihat. Seperti patung Drupadi yang menggambarkan
perbuatan terlarang yang berakibat pada aborsi, kisah sculpture yang diilhami
dari cucu kembar Nyoman Nuarta yang menggambarkan kesedihan beliau saat harus
kehilangan salah satunya, dll.
Ruang audio visual. Film dokumenternya keren banget deh. |
Pisang Gula Merah dan apa ini yak, mirip happy tos gitu dari N-Cafe |
Jam buka
NuArt Sculpture Park sendiri adalah:
Senin – Jum’at : 09.00 – 18.00 WIB
Sabtu – Minggu : 11.00 – 22.00 WIB
Untuk yang berminat datang bisa juga telepon dulu
untuk informasi lebih banyak di nomor berikut:
+62 – 22 – 2020414
+62 – 22 – 2017812
+62 – 22 – 2017815/16
Kebetulan baru bangun.
BalasHapusSaya setuju dengan pak nyoman, bangsa kita telah kehilangan identitas diri. Semuanya tercermin dari moral generasi muda yang kian hari kian merosot.
Betul ... suka miris kalau lihat berita. Kita gampang benar mencaci maki yang berbeda pendapat dengan kita. Padahal harusnya mah hormatilah yak opini dan pendapat orang lain. Kayaknya adem tentrem deh kalau saling menghormati dan tenggang rasa yak. Sifat2 itu kelihatannya udah luntur zaman sekarang.
HapusIya. Bangsa kita perlahan telah kehilangan identitas diri. Oleh karena itu, kita harus terus mengontrol generasi penerus kita supaya identitas diri yang dulu pernah ada kembali lagi.
BalasHapus#saya_komentar_apaan_sih? Hahaha...
Xixixi ... itu tentang identitas yang hilang. Iya nih, kita harus mulai, terutama dari diri kita sendiri.
HapusWow keren banget semua karyanya mba dan satu hal yang baru saya tahu karya2 keren ini ada di Bandung *aduh kamana wae abi nyak hehehe...
BalasHapusSaya sepakat mba identitas bangsa yang hilang, mempertahankan memang lbh sulit y mba.
Nice share mba ^^
Masih banyak Mbak karya-karyanya yang lain. Saya juga baru tahu tempat ini saat diajak tour sisi lain Bandung, padahal saya cukup lama tinggal di Bandung.
HapusJangankan budaya mbak, bahasa daerah aja sekarang mulai banyak yang ditinggalkan kok. Gak usah jauh-jauh deh. Temen-temen saya yang dikampung, yang pasangannya sama-sama orang jawa, lebih senang menggunakan bahasa Indonesia kalo ngomong sama anaknya. Bayangkan mbak, dikampung ! 20 tahun kemudian apa gak punah itu bahasa daerah.
BalasHapusNah itu dia. Bahasa juga yak. Saya jadi malu juga. Keingetan Bahasa Sunda. Dulu kalau ada PR pupuh2 suka minta bantuan Bapak. Eh, sekarang malah jadi kebanyakan Indonesia di rumah. Makasih udah ngingetin.
HapusAku baru tau kalo GWK tuh ternyata masih in progress toh. Wah belom pernah kesana, kalo ke bandung mau ih kesana.
BalasHapusIya Mbak masih in progress ternyata. Jadi nantinya mirip dengan miniatur yang di gambar atas itu.
Hapuskalo kebandung mau masuikn list ah
BalasHapusSaya juga pengen ke sana lagi. Belum puas. Soalnya waktu itu kejebak macet, libur panjang. Jadi sampai di Bandung udah mau jam 3 an. Jadi bentar banget, ngga sempat explore Nu Art lebih banyak.
Hapusmasuknya bayar gak mba...mau ke sana akh kalau mudik ke Bandung, saya jadi inget selasar sunaryo yang di dago, sama-sama tempat art...tapi kalau baca dan lihat foto post ini kayaknya ini ruangannya lebih besar ya selasar sunaryo
BalasHapusGratis Mbak masuknya. Katanya sih waktu itu ke sana masih di gratiskan.
HapusSelasar Sunaryo malah belum pernah. Itu yang di Dago Pakar ya Mbak?
Bagus banget ya karyanya,,jadi bikin hati tenang.
BalasHapusNuArt ini dulu lokus Penelitian Bisnis saya jaman kuliah, dan sempet ketemu dengan pak Nuarta in person...very down to earth, humble banget..apalagi dulu rambutnya gondrong, posturnya tinggi gagah hehehe ngefans deh :D
BalasHapusLah saya malah baru tahu kalau Garuda Wisnu yang buat adalah pak NYOMAN NUARTA *KUDET* bener yaaaak mba..
BalasHapusAKu sering ke bandung juga mba, next sepertinya aku pingin main ke NuART., thanks for sharing..
Salam kenal mba..
www.sistersdyne.com
Memang harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga di rumah :)
BalasHapusseni dan budaya mulai ditinggalkan, mungkin dg mengkombinasikan dg budaya lain yang digemari anak muda bisa ajdi alternatif dan baisanay lebih disukai tapi ada juga yang berpikiran nanti jadi gak asli lagi
BalasHapusPengenalan budaya yang tepat karena kreatif ya mba. Moga aja anak2 muda makin suka :)
BalasHapus