Mengenal Sejarah, Budaya & Tradisi Palembang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Arsitektur Eropa Berwarna Lokal

"Jika timbangan bajunya tidak sama antara baju laki dan baju perempuan, artinya mereka tidak berjodoh," jelas pemandu wisata di Museum sultan Mahmud Badaruddin II, menjawab pertanyaan saya mengenai fungsi timbangan yang ada dalam display adat penikahan Palembang.

Waduh! Baju bawaan pengantin pria dan wanita harus seimbang, dan kalau tidak sama mereka harus bercerai? Suatu pekerjaan yang  sulit rasanya, mengingat pakaian wanita lazimnya lebih banyak dibandingkan laki-laki. Pakaian saya di lemari saja dijamin lebih banyak entah berapa kali lipat dibandingkan pakaian suami saya. Pikiran saya pun berkelana liar, berapa banyak baju yang harus ditimbang? Apa semua baju kepunyaan pengantin harus ditimbang? Belum habis pertanyaan mengenai makna timbangan dalam adat penikahan Palembang, pemandu yang ramah ini pun menjelaskan kembali mengenai tumpukan bantal dalam adat Palembang atau Sumatera Selatan.

“Ibu lihat tumpukan bantal di sana?” Tunjuknya pada tumpukan bantal yang terletak di atas display ranjang pengantin, saya pun mengangguk. “Nah, tingginya bantal menunjukkan status sosial pengantin. Semakin tinggi tumpukan bantal, menunjukan pengantin adalah orang terpandang, keturunan bangsawan atau raja-raja, dan jika tumpukan bantalnya pendek, menunjukkan dari kalangan rakyat kebanyakan.


Sungguh asyik, jika kita datang ke suatu museum dan staff-nya ramah menjelaskan mengenai informasi koleksi beserta sejarah dari koleksi museum. Pengalaman yang sungguh berharga yang saya rasakan berkunjung ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Banyak informasi pengetahuan yang didapat mengenai suatu tempat, jika kita mengunjungi museum budaya yang berada di tempat tersebut. Membawa anak-anak berwisata ke museum adalah salah satu pembelajaran untuk mengetahui keanekaragaman budaya bangsa sekaligus mengenal sejarah. Saya sendiri berpendapat bahwa belajar tidak melulu harus duduk di bangku sekolah. Melakukan traveling adalah salah satu cara belajar. Bukan hanya pengetahuan yang bisa diperoleh, tapi juga belajar kepribadian anak pun akan semakin berkembang.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II terletak di sebelah Benteng Kuto Besak, di depan Dermaga Wisata dan tidak jauh dari Monumpera serta Mesjid Sultan Mahmud Badaruddin I. Waktu operasional museum ini adalah jam 08.00 - 16.00 setiap hari Senin – Jum’at, dengan waktu istirahat jam 12.00 – 13.00, kecuali di hari Jum’at pukul 11.30 – 13.00 dikarenakan bertepatan dengan sholat Jum’at. Hari Sabtu, Minggu dan Hari Libur buka jam 09.00 – 15.00 WIB.

Untuk masuk ke dalam museum, kita harus menaiki anak tangga yang memutar di sayap kanan dan kirinya. Ya, museum ini dilengkapi dengan tangga yang melintir di kedua belah sisinya. Perpaduan antara arsitektur Eropa yang kental tetapi masih menyisakan warna lokal dilihat dari keberadaan dua tangga ini. Mirip dengan rumah-rumah panggung yang juga memiliki tangga di kedua sisinya. Karcis masuk bisa dibeli dibagian depan, untuk dewasa Rp 5.000/orang dan anak-anak Rp 1.000/orang. Sedangkan untuk orang asing Rp 15.000/orang. 

Mengenal Sosok Pahlawan Pada Selembar Uang 10.000

Museum Sultan Badaruddin II, terletak di kawasan wisata Benteng Kuto Besak di tepian Sungai Musi. Hmmm, siapa sih Sultan Mahmudd Badaruddin II ini? Kok namanya bisa diabadikan sebagai salah satu museum di Palembang? Kita semua sebetulnya pernah melihat wajahnya lho. Hayoo! Dimana?

Pernah memperhatikan uang kertas Rp 10.000? Azka sering menyebutnya uang ungu jika merengek meminta uang untuk membeli sesuatu. Nah, gambar pahlawan yang ada di uang pecahan Rp 10.000 itu adalah gambar Sultan Mahmud Badaruddin II. Sultan yang bernama kecil Raden Hasan Pangeran Ratu ini terkenal gigih dalam mempertahankan wilayah kesultanan Palembang dari tangan kolonial Belanda dan Inggris, sebelum akhirnya sultan beserta keluarganya diasingkan ke Ternate. Duh, ternyata Palembang masih berhubungan dengan Ternate ya. Jadi ingat wonderful eclipse-nya Ternate yang katanya sempurna.


Sultan Mahmud Badaruddin II lahir pada malam Minggu, tanggal 1 Rajab 1181 Hijriah. Membaca biografi sultan, entah kenapa timbul rasa salut saya padanya. Bulu kuduk saya berdiri membaca kisah perlawanan dan keberhasilannya membuat pasukan Belanda beberapa kali harus angkat tangan kembali ke Batavia dengan tangan hampa. Saya melihat sosok sultan yang tidak hanya kaya raya, tetapi juga pintar strategi. Jika bukan karena kelicikan Belanda, saya yakin sultan akan tetap berhasil mempertahankan Palembang. Karena jasa dari putra Sultan Mahmud Badaruddin I inilah maka namanya diabadikan menjadi nama museum selain diabadikan sebagai nama bandara internasional Palembang. Lengkap ya, diabadikan dalam uang resmi negara Indonesia, nama museum, juga nama bandar udara. Pastinya sosok sultan yang satu ini memang keren sekali.


“Bangunan ini bekas istana raja?” Tanya saya penasaran, ingin tahu mengenai seluk beluk bangunan museum ini. “Oh, bukan. Ini dulu bekas rumah dinas Residen Belanda,” Jawab pemuda pemandu dengan ramah dan berusaha menjelaskan dengan sedetail mungkin. Usianya mungkin sekitar 19 atau 20 tahun, dia mengenakan jas almamater dari kampusnya. Bangunan museum ini, pada zamannya pasti merupakan bangunan termegah. Sisa-sisa kecantikan arsitektur Eropa masih terlihat pada gedung tersebut. Berukuran panjang 32 meter, lebar 22 meter dengan ketinggian 17 meter, bangunan ini dibangun pada tahun 1823 sampai 1825, yang kemudian menjadi tempat tinggal komisaris kerajaan Belanda di Palembang, Yohan Isaac van Sevenhoven. Konon sebelum bangunan ini berdiri, di sini terletak keraton yang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada sekitar tahun 1737 M, yang dihancurkan pada tahun 1821 dengan diasingkannya Pangeran Ratu bersama keluarga ke Ternate. Jadi saya tidak terlalu salah juga ya menebak bahwa bangunan ini adalah bekas istana sultan. Toh di sini pernah berdiri Keraton Kuta Kecik atau Keraton Kuta Lama sebelum berganti menjadi bangunan keresidenan.

Setelah berjalan ditariknya matahari Palembang, telapak kaki terasa nyes dingin saat menginjak lantai kayu museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Ya, memasuki area bangunan dalam, kita diminta untuk menyimpan alas kaki di tempat yang telah disediakan. Bangunan terbagi menjadi beberapa ruangan. Awalnya agak bingung, ambil haluan kiri atau ambil haluan kanan terlebih dahulu. Dua-duanya sama mengasyikan. Di sebelah kiri, kita akan menyaksikan koleksi museum replika prasasti batu Kedukan Bukit, Talang Tuo, Boom Baru dan Telaga batu. Sedangkan di sebelah kanan, kita akan melihat lukisan-lukisan ilustrasi perang Palembang 1821 juga silsilah raja Palembang.

Kain Emas Berharga Ratusan Juta Rupiah

Kami memilih memulai dari tengah, melewati sebuah pintu berwarna merah, yang langsung berhadapan dengan lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II. Inilah main hall museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Di ruang ini terdapat display replika Rumah Limas yang merupakan rumah adat Sumatera Selatan, replika mesjid agung Sultan Mahmud Badaruddin I, berbagai jenis koin dan berbagai jenis kain dan senjata. Juga terdapat baju yang digunakan masyarakat Palembang dan perlengkapan pakaian yang dikenakan sultan.

“Ini adalah replika pakaian sehari-hari yang dikenakan wanita Palembang zaman dahulu,” kali ini seorang perempuan muda yang menerangkan kepada kami, ketika kami melewati display yang berisi kain-kain khas Palembang serta sebuat patung wanita yang mengenakan kain mirip baju kurung dan kain tenunan sarung serta kerudung penutup kepala dan caping. Kulirik sekilas namanya Niken. Sama seperti pria muda di sebelahnya, gadis muda ini sepertinya juga mahasiswi di salah satu kampus di Palembang. “Saat keluar rumah, wanita Palembang menutup kepalanya,” lanjutnya lagi. “Wanita yang sudah menikah mengenakan kain selendang di pundaknya, tanda bahwa dia sudah siap memomong anak.”


Di main hall museum Sultan Mahmud Badaruddin ini juga dipamerkan macam-macam kain yang biasa dikenakan dalam budaya Pelambang atau Sumatera Selatan, seperti sewet tanjung yang terbuat dari benang sutera, biasanya yang dikenakan oleh pria disebut gebeng atau tanjung rumpak, sedangkan yang dikenakan wanita disebut tanjung blongsong. Ada juga kain songket yang termasyur itu. Konon harga sehelai kain songket bisa menyentuh angka puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Wajar saja karena pembuatannya pun memerlukan waktu 3 bulan, serta melibatkan benang emas yang membuat kain songket sedikit lebih berat dan indah berkilau keemasan. Songket sudah terkenal sejak zaman Sriwijaya dan Kesultanan Palembang. Jika ingin melihat bagaimana kain ini dilestarikan, datanglah ke Sentra Kerajinan Songket Tanggo Butung yang telah ada sejak ratusan tahun lampau.

Selain songket, ada pula kain semage dan kain pelangi. Kain semage ini berasal dari Siam dan Kamboja, kain ini biasanya dipakai untuk ritual perkawinan dan kematian atau upacara adat lainnya.

Memasuki ruangan lain, kita melalui sebuah pintu merah berukir dengan ukuran sedikit lebih sempit. Awalnya saya pikir itu kaca, ternyata bukan. Haha, jadi seolah melangkahkan kaki memasuki kaca. Saya tidak tahu kenapa saya merasakan seperti itu. Di dalam ruangan tersebut terdapat satu set furniture meja kursi zaman dahulu.

Laju Perahuku Laju

Semakin masuk ke dalam, terdapat diorama perahu-perahu khas Palembang. Owh, ternyata ada beberapa jenis perahu yang digunakan masyarakat sejak zaman dahulu. Ada Perahu Bidar yang diperlukan untuk pengangkutan dalam gerak cepat. Dahulu kala, jika para bangsawan pergi berwisata menggunakan perahu pelancong, maka akan dikawal oleh beberapa Bidar yang berfungsi untuk membawa bekal dan perlengkapan lainnya. Tetapi pada masa sekarang, Bidar ini lebih berfungsi sebagai alat olah raga yang sering dilombakan.

Ada juga Perahu Model. Masyarakat Palembang, sejak zaman dahulu telah menempati tempian Sungai Musi. Rumah berderet di sepanjang aliran sungai. Penjaja barang atau makanan keliling pun menggunakan perahu, dan salah satu makanan yang dijajakan adalah model yang lebih terkenal dibanding makanan lain. Sehingga perahu ini pun dinamakan Perahu Model. “Perahu ini adalah perahu untuk berjualan pempek, Bu,” jelas lelaki muda yang sedari tadi menemani kami berkeliling. “Kalau Ibu pergi ke plaza Benteng Kuto Besak, disitu ada perahu pempek yang enak.” Wah, mendengar kata pempek dan enak, langsung radar di kepala berbunyi bip bip bip. Wah, harus coba nih, sensasi makan pempek enak sambil bergoyang di Sungai Musi. “Oya? Jam berapa? Kok kemarin malam saya tidak melihatnya?” Tanya saya penasaran. “Biasanya sih jika sudah habis, mereka langsung pulang Bu,” jawabnya. “Oh, kehabisan mungkin ya kalau sudah malam?” Saya menggumam sambil melirik ke arah replika perahu lainnya, yaitu Perahu Kajang atau Perahu Kayuagung, yang lebih besar serta ditutupi oleh atap yang cukup kokoh. Perahu Kajang ini terdiri dari beberapa ruangan yang berfungsi untuk berdagang, tempat tidur, memasak dan lainnya. Dahulu perahu ini digunakan untuk berdagang dengan jarak yang cukup jauh dan umumnya para pedagang ini membawa serta keluarganya. Disamping Perahu Kajang, ada juga perahu pengangkut beras dan perahu untuk menangkap ikan.

Gadis Palembang Harus Bisa Menenun

Di beberapa display kaca selanjutnya terdapat piring-piring keramik dan juga cetakan besi untuk membuat kue atau penganan kecil zaman dahulu. Ternyata cetakan kue pancong juga telah ada sejak zaman dahulu.

Tidak jauh dari situ terdapat peralatan tenun. Kain-kain cantik seperti songket, dibuat dengan menggunakan alat tenun ini. Seperangkat alat ini terdiri dari gulungan benang, alat untuk merentangkan benang, alat untuk memasukan benang dan mengangkat benang. Alat tenun juga disebut gedokan.


“Zaman dahulu para gadis harus bisa menenun Bu,” kembali pemuda pendamping tadi menjelaskan, “kalau tidak bisa menenun, tidak ada lelaki yang suka.”

“Waduh? Segitunya? Untung saya bukan gadis Palembang yang wajib bisa menenun songket,” saya tergelak, sekaligus membayangkan jika saya seorang gadis Palembang yang wajib bisa menenun kain songket. Aduh, saya nyerah deh, langsung mengibarkan bendera putih. “Itu kan zaman dahulu, Bu. Sekarang sudah tidak seperti itu,” jawabnya sambil tersenyum.

Di bagian ruangan tempat alat tenun ini berada, terdapat pula peralatan untuk tradisi khitan yang di Palembang umumnya dilaksanakan pada anak laki-laki usia 6 – 8 tahun yang telah khatam Al-Qur’an. Anak laki ini dihias dan diarak. Upacara khatam qur’an ini dilaksanakan pada hari Ahad dan pada hari Seninnya anak tersebut disunat. Di museum ini juga diceritakan tradisi lain yang dilakukan pada acara khitan tersebut. Informasi yang terdapat di sini cukup lengkap. Tidak hanya tersaji dalam bahasa Indonesia tetapi juga dalam bahasa Inggris.

Semakin Tinggi Bantal, Semakin Tinggi Status Pengantin

Nah, yang penasaran dengan tradisi pernikahan orang Palembang, bisa berkunjung ke sini juga. Ternyata adat pernikahan Palembang banyak tahapan yang harus dilalui. Entah, mungkin ada sampai 15 tahapan dari mulai pendekatan, pernikahan sampai sesudahnya. Pelaminan dan tempat tidur pengantin menurut saya sangat glamor, penuh dengan warna kuning keemasan. Pelaminan terbuat dari kayu yang syarat dengan ukiran-ukiran cantik keemasan. Menurut suamiku, sepertinya ukiran Palembang ini sangat terkenal, sampai ada yang khusus mendatangkan ukiran ini untuk membangun rumah di tanah Jawa.


Di sebelah pelaminan, kita disajikan pandangan kamar tidur pengantin. Seperti yang disebutkan di atas, jika bantal yang tertumpuk banyak, menunjukkan status sosial yang tinggi dari pengantin. Mendengarkan penjelasan tentang ketinggian bantal, Aisya berbisik-bisik di telinga saya, “kalau bantalnya tinggi sekali, tidurnya bagaimana Bu?” Saya ingin tertawa mendengar pertanyaan polosnya, saya bercandain dia, “Tidurnya mah merem dong, sama.” Aisya hanya nyengir mendengar jawaban saya.

Begitu pula dengan timbangan yang disebutkan di atas bahwa jika tidak sama berarti tidak berjodoh. Salah seorang teman perempuan asal Palembang berkata, “itu sih cara halus menolak laki-laki. Biasanya jika perempuannya tidak suka, ya dicari-cari alasan.” Sedangkan teman yang berasal dari Pagar Alam bilang bahwa baru kali ini mendengar ada tradisi seperti itu. Menurut teman tersebut yang ada adalah tradisi memakai pacar untuk mewarnai tangan. “Konon kabarnya, jika seorang gadis sudah tidak perawan, seberapa pun pacar yang kita kasih, tangan tetap terlihat pucat,” jelasnya.  Teman juga menggambarkan bahwa pernikahan adat di Sumatera banyak sekali tahapannya. “Capek deh pokoknya. Makanya aku cari orang Jawa,” katanya sambil tertawa terbahak.


Ternyata Indonesia itu kaya sekali akan budaya ya. Pernikahan pun berbagai macam tradisi. Kalau di tempat teman-teman tradisi pernikahannya seperti apa? Sharinf yuk!

Oya, yang penasaran mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, gampang kok jika hendak ke sini. Letaknya percis di sebelah Benteng Kuto Besak. Jika melalui kendaraan umum, juga gampang, karena hampir sebagian besar transportasi di Palembang melalui kawasan Benteng Kuto Besak.


43 komentar:

  1. Iya ya mbak ya, belajar sejarah tak melulu di bangku sekolah saja,,, tapi dengan cara travelling adalah salah satu cara belajar,,,
    kadang kalau iseng - iseng ke museum, males untuk baca itu hilang lho mbak,,, secara nggak sadar timbul rasa penasaran dan akhirnya ingin membacanya setiap koleksi yang ada,,,, museumnya cukup menarik untuk dikunjungi, :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya dari dulu telmi, jadi baru agak ngerti kalau diceritain sambil lihat buktinya, bukan hanya denger. Xixixi.

      Hapus
  2. Menarik bgt ya budaya palembang ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setiap daerah mempunyai budaya yang unik ya Mbak...saya jadi tertarik untuk mengetahui budaya-budaya seluruh Indonesia.

      Hapus
  3. belum penah ke Palembag tapi pecinta kuliner sana :) semoga bisa ke Palembang. makasih sudha mampir ya, maaf baru bisa mampir balik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Mbak..., kalau ke sana ajak-ajak ya Mbak..hehe, mau banget apalagi gratisan, haha. Ngga apa-apa Mbak, tenang saja, yang penting kan silaturahmi jalan terus ya Mbak, walaupun lewat online.

      Hapus
  4. pertanyaan yg sama, dengan tumpukan bantal setinggi itu emang bisa tidur ya? Merem doang sih bisa :)))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, iya tuh Mbak, saya juga pusing jawabnya. Saya bilang sih akhirnya bahwa itu hanya tanda saja, tidurnya tetap pakai bantai 1 atau 2, haha...mungkin itu juga..

      Hapus
  5. saya orang sunda tapi waktu nikah ga pake adat sunda. sebenarnya seru sih tapi suami gak mau, orangnya pemalu jadi habis akad pesta biasa aja nerima tamu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tos dong Mbak, saya juga Sunda. Adat Sunda suka sedihnya pas denger lengsernya itu ya Mak, lagu pengiringnya bikin merinding.

      Hapus
  6. Subhanallah, Indonesia sangat kaya dengan budayanya. Semoga bisa ke sana buat liat langsug

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kaya banget budaya ya Mbak. Sayang kurang promosinya mungkin yak. Tapi sekarang sepertinya sudah mulai banyak promosi-promosi wisata termasuk ke pelosok-pelosok. Setiap daerah mempunyai andalan wisata yang dipromosikan. Salut sama kementerian pariwisata atau dinas pariwisata dan staff-staffnya...

      Hapus
  7. sebetulnya belajar sejarah itu asik, ya. Seperti urusan timbang baju dikaitkan dengan jodoh aja jadi bikin penasaran. Karena biasanya setiap budaya punya alasan masing-masing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul Mbak...setiap budaya pasti punya alasan masing2. Itu yang membuat saya tertarik menjelajah...xixi. Gaya bener bilangnya menjelajah padahal cuma Banten doang...dan yang deket2 yang terjangkau..hahaha...

      Hapus
  8. Wah memang setiap daerah itu memiliki kebudayaan yang unik dan pasti bikin penasaran ya termasuk kebudayaan palembang ini yang bisa membuat saya jadi penasaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mas. Setiap daerah punya adat budaya masing masing yang unik. Seru mengenal beragam jenis adat budaya di Indonesia...semakin merasa bahwa Indonesia itu memang kaya.

      Hapus
  9. Banyak sekali budaya yang ada di museum Sultan Mahmud Badaruddin ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sih suka jelajah museum, jadi berkunjung ke museum SMB II menurut saya worthed sih, sekalian jalan dari Benteng Kuto Besak dan tempat wisata sekitar. Lumayan sih koleksinya. Terus enaknya waktu itu ada yang nerangin. Coba kalau ngga ada, garing juga kali ya, ngga tau maksud masing-masing display.

      Hapus
    2. Cuman di lihat doang ngk tau asal usulnya dari mana :)

      Hapus
  10. Museum SMB II memang unik, kita bisa banyak belajar disana..terutama budaya Palembang ya mbak, salam kenal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali Mbak. Iya ngga rugi sih ke museum SMB II, bayarnya pun terjangku, murah meriah.

      Hapus
  11. Museum SMB II memang unik, kita bisa banyak belajar disana..terutama budaya Palembang ya mbak, salam kenal...

    BalasHapus
  12. Bicara tentang sumsel dan khususnya palembang memang tidak ada habisnya..mulai dari sejarah, adat istiadat dan budaya. Semuanya bikin penasaran untuk digali lebih dalam lagi...

    Hemmm..
    Kalau mengenai kain songket..di rumah ada dua tu mbak...usainya lebih tua daripada saya..kata ibu, itu peninggalan nenek...Memang sich jarang di pakai kecuali saat acara tertentu saja..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, baca commentnya Mas Sonny jadi inget Lampung Barat. Inget Lampung Barat jadi pengen ke Crui dan Danau Ranau yang di perbatasan dengan Sumsel.

      Iya, keren-keren adat istiadat Indonesia ini ternyata. Kain Songket adalah salah satu peninggalan leluhur. Wah, pasti itu harganya sudah mahal banget ya. Katanya malah kain songket yang sudah berusia puluhan atau ratusan tahun malah mahal banget ya Mas?

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Krui sekarang tidak termasuk bagian dari Lampung Barat mbak...sekarang Krui sudah menjadi bagian dari kabupaten Pesisir Barat sudah pemekaran.

      Ya...itulah uniknya Indonesia yang terkenal karena keberagaman Budayanya, Bangga jadi orang Indonesia

      Katanya sich gitu mbak...soalnya dulu ada yg nawar kain songket punya ibu, kalau tidak salah satunya di tawar lebih dari 5 jt tapi tidak dijual, karena kata ibu, tu songket ada nilai historynya :)


      Hapus
  13. Kalau di perantauan begini..terkadang ingat makanan khasnya yaitu Pempek dan Tekwan...hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, pempek dan tekwan. Di Tangeran beda ya Mas Sonny rasa pempeknya?

      Hapus
  14. Jadi sepemikiran ama aisa,..hihi
    Btul juga klo statusnya bangsawan, tumpukan bantalnya pasti lenih tinggi. Nah pas tidur ntar ga enakeun tu fi leher xd

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha..iya bener2. Mungkin itu hiasan untuk simbol sepertinya. Kalau disuruh tidur di tumpukan bantal setinggi itu pun ngga sanggup rasanya membayangkannya pun. xixixi. Tapi keren ya adat istiadatnya. Entah sekarang masih terjaga seperti itu atau tidak. Semakin ke sini, orang semakin berpikiran praktis, ngga mau yang ribet-ribet. Mudah2an sih masih terjaga kelestariannya ya...

      Hapus
  15. Begitu kondangan langsung lihat tumpukan bantal untuk mengetahui status sosial sang pengantin ya Levana. Duh jadi tekanan batin juga ya paati untuk yg bukan bangsawan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin sekarang sudah ngga kali Mbak. Atau masih berlaku kah arti simbolis tumpukan bantal itu? Wah, kalau saya kayaknya mau ngumpet deh, bantalnya mungkin cuma satu tumpuk...xixi. Bener Mbak, buat yang mbantalnya sebaris tambah tekanan batin. Xixixi.

      Hapus
  16. Ih museumnya keren ya mbak Levi, itu tangganya seperti mau masuk ke istana dan tiketnya juga murah :)

    Bersyukur ya mbak bisa sering jalan-jalan ke tempat-tempat yang indah dan menakjubkan #ini semacam iri bukan ya :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tiketnya murah Mbak dewasa 5rb perak doang, anak-anak lebih murah lagi. Saya aja kaget pas bayar. Tapi kalau orang asing sih lebih mahal Mbak, tapi mereka dapat souvenir buku mengenai Museum Sultan Mahmud Badaruddin. Sempet ngiri juga ngeliat bule yang dikasih buku. Lumayan tuh buat baca2 sejarah Palembang dengan Sriwijaya dan kesultanannya. Keplak!!! Bayar 5rb kok pengen dapet buku! Hahaha....

      Ngga sering juga Mbak. Terbentur waktu dan budget juga, hehe.

      Hapus
  17. tahu gitu bantalnya mau kutumpuk-tumpuk menggunung tinggiiii da ....

    Itu CANON / meriam-nya jadi inget spt yg di Kota Tua, Museum Fatahillah Jakarta.

    Saya senang menyimak sejarah, dari situlah kita mengetahui nilai sebuah bangsa. Asyiiik yah jalan-jalan terus ..! Kemarin di Istiqlal Jakarta sekarang dah di Palembang ... !

    Lanjuuutttkan jalan-jalannya ... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi...makin tinggi makin banyak duit ya Mbak. Aku juga mauuuu..banyak duit buat jalan-jalan.

      Rata2 kalau museum sejarah kenapa suka ada koleksi meriamnya ya. Hehe. Museum Banten Lama juga kalau ngga salah punya Meriam Kiamuk.

      Betul Mak, saya senang berkunjung ke suatu tempat trus menggali-gali sejarahnya. Aih, harus bawa sekop dong yaaa...

      Hapus
  18. museumnya keren, jadi pengen kesana.. pengen menikmati suasana sejarah di dalam museum tersebut. sayangnya jauh banget tempatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, lumayan jauh sih dari tempat saya juga. Semoga bisa menjejakkan kaki di sana ya..., saya juga,

      Hapus
  19. ini di Palembang mbak?

    kayaknya harus jadi destinasi traveling bulan depan deh.

    Nice info :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya..ini di Palembang. Dekat Benteng Kuto Besak seberangan sama dermaga wisata.
      Jadi bisa sekalian jalan Benteng Kuto besak, Ampera, Monumpera, Museum Sultan Mahmud, Mesjid Agung, Pasar Ilir jg kuliner pinggiran Ampera.

      Hapus
  20. jadi de javu ya. Kayak di Kota Tua Jakarta :)

    hehe

    BalasHapus
  21. mudah mudahan saya di beri kesempatan untuk bisa mengunjunginya juga.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkomentar. Silahkan tinggalkan jejak, ya.

Follow my media social for any update of articles
Twitter: @mandalagiri_ID
Instagram: mandalagiri_ID

 

Ads

Followers

Ads

Warung Blogger

Hijab Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Ads

IDCorner

ID Corners

Fun Blogging

Fun Blogging

Blogger Perempuan Network

Blogger Perempuan