MINA, Hari Ini 2 Tahun Lalu (Part-2)

Hujan Duka di Bawah Langit Mina

Berita duka terdengar dari Mina, tempat berkumpulnya jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia. Korban tragedi Mina hari ini menurut berita sudah mencapai 700-an orang yang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Terjadi karena jemaah haji yang saling berdesakan di jalan 204.
Mina, negeri seribu satu tenda ini disinggahi saat melaksanakan tarwiyah sebelum berangkat ke Arafah dan 3 - 4 hari sesudahnya untuk melempar jumrah pada hari-hari nahr dan tasyrik. Semoga amal ibadah mereka-mereka yang kembali kepada-Mu diterima dan mereka dibangkitkan kembali pada hari akhir dalam keadaan berihram dan bertalbiyah. Aamiin.
***
"Ayo cepat lari!" Azka dan Aisya berlari di depanku. Nafas terasa berat dan pendek, detak jantung makin meningkat. "Waduh, kita ketinggalan nih!" Kataku lagi dengan susah payah berkata-kata, masih sambil berlari.
traveling mina
Mina, Negeri 1001 tenda
Imam terdengar sudah beberapa kali menggemakan takbir, tanda sholat Ied sedang berlangsung. Langkahku agak tersendat, antara tetap menuju mesjid atau balik badan pulang kembali ke rumah. Sepertinya kita sudah ketinggalan sholat. "Ayo Bu, Lari!" Suara Azka membuyarkan keraguanku. Ya, tak apa-apa terlambat, minimal kebagian khutbahnya juga tidak rugi, sekalian pembelajaran buat anak-anak.
Halaman mesjid terlihat masih kosong. Lho? Sedikit sekali kah yang sholat Ied? Sudah kebayang di dalam mesjid akan penuh, karena di luar tidak tampak satu jemaah pun. Tapi sekali lagi aku salah. Di dalam mesjid hanya ada 2 shaf laki-laki dan 3 shaf perempuan. What an empty space!
Buru-buru ku kenakan mukena dan ikut sholat dengan imam. Usai imam mengucapkan salam, baru aku sadar, ternyata jema'ah berjubel di halaman samping yang baru saja selesai pembangunannya. Sudah kaget saja dengan jema'ah sholat Ied yang sedikit.
Khutbah berlangsung setelah selesai sholat. Mendengarkan khutbah sholat Ied, mengenai kurban, melemparkan ingatanku ke masa 2 tahun lampau.
Pada saat yang sama, saat umat islam melaksanakan sholat Ied di Mesjidil Haram, para jema'ah haji sudah bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melaksanakan jumrah Aqabah.

Lautan Manusia di Jalur Muzdalifah - Mina

Sebelum matahari terbit, bis terakhir yang membawa sisa-sisa jema'ah yang tertinggal di Muzdalifah mulai bergerak menuju Mina. Deru bis membelah keheningan pagi. Bertiga, meninggalkan Masy'aril Haram yang kenangannya akan selalu tersimpan di hati. Dalam bis berisikan campuran jema'ah dari berbagai provinsi, tidak lagi satu rombongan yang berasal dari kloter yang sama. Masih dalam balutan baju ihram, kalimat talbiyah memenuhi seluruh penjuru bis. What a great moment! We're from different provinces but in unity.
traveling mina
Jemaah bergerak ke Mina
Jalan penuh dengan lautan manusia berpakaian ihram. Bis berjalan tanpa terhalang, karena jalur jalan kaki disediakan terpisah. Kalimat talbiyah terus menerus dikumandangkan. Masih dengan mengumandangkan talbiyah dengan lirih karena wanita tidak boleh melafalkan dengan suara keras, aku memandang dari balik kaca jendela dengan sedikit perasaan iri. Ah, alangkah senangnya andai menjadi bagian dari para pejalan kaki itu. Para jema'ah yang rindu akan sunah nabinya.
Tak terasa perjalanan berakhir di Mina. Walaupun bis tidak melalui maktab kami. Tapi karena sehari sebelum Arafah singgah di Mina dalam rangka tarwiyah, gambaran mengenai area maktab Indonesia di Mina sedikit terbayangkan di kepala, sehingga bisa minta turun di daerah dekat maktab kami.

Di tenda maktab, semua telah berkumpul dan sebagian terlihat sedang melaksanakan tahalul. Sepertinya mereka semua telah melaksanakan jumrah Aqabah.
"Baru datang?" Tanya Teh Iti, teman satu rombongan asal Pandeglang yang diikuti anggukan kepalaku, "Iya," jawabku kemudian.
"Kami sudah selesai jumrah Aqabah. Tadi malam, lewat dini hari meninggalkan Muzdalifah, langsung balang jumrah," terangnya, "enak, masih kosong. Ngga berdesakan. Bisa lempar dari dekat."
"Oh," aku tidak konsentrasi lagi dengan omongan Teh Iti, aku sibuk dengan pikiranku, kalau pergi lempar jum'rah saat ini pasti sedang puncak-puncaknya, karena semua orang dari berbagai negara ingin waktu yang utama untuk melempar jumrah, yaitu waktu dhuha.
"Berangkat sekarang nih kita?" Pak Jaksa sudah siap untuk berangkat yang di ayo kan oleh suamiku dan beranjak untuk berangkat. Terlihat kerumunan bapak-bapak saling membantu memotong rambutnya untuk tahalul awal setelah lempar jumrah Aqabah.
"Yah, tuh lihat pengumuman yang ditempel," tunjukku ke arah kertas seukuran A4 yang ditempel di dinding bertuliskan pengaturan waktu untuk melempar jumrah bagi orang Indonesia supaya tidak bentrok dengan jemaah dari negara lain yang ukuran badannya lebih besar-besar. "Tuh Yah, waktu dhuha untuk jemaah negara lain," rajukku lagi sambil menarik ujung kain ihramnya, mulai cemas. "Waktunya bisa kok sampai sebelum matahari terbenam."
"Ngga apa-apa. Bismillah saja. Lagi kalau sore malah takutnya nyasar, kita kan belum tahu jalan. Ini tinggal kita bertiga lho, yang lain sudah semua," jawabnya sambil terus menoleh, "bawa minum ngga?" Aku mengacungkan botol aqua kecil yang tinggal setengah, "bawa nih."
"Lewat mana kita?" Tanya Pak Jaksa.
"Lewat atas sepertinya," jawab suamiku.
Waduh! "Indonesia lewat terowongan Muasim deh Yah," aku mencoleknya. Dengan hati berdebar-debar, aku mengikuti langkahnya berbelok ke arah kiri dan naik menuju jalan atas. Aku menengok ke arah kanan, arah yang ditunjukan orang yang konon katanya menuju terowongan Muasim.
Ternyata jalanan berbeda dengan perkiraan sebelumnya. Sebelumnya terlihat lebih gampang menuju jalur ini
traveling mina
Peta Pekemahan Mina
karena tinggal lurus mengikuti jalan sampai di Jamarat. Sepertinya jalurnya berubah, banyak pengalihan dan tenda-tenda baru yang berdiri. Akhirnya kami mengikuti arus orang-orang yang menuju Jamarat. Mudah mengenali yang menuju Jamarat, karena jalur masuk dan keluar terpisah.
Lautan manusia dari berbagai penjuru dunia bergabung dalam satu jalur. Talbiyah terdengar semakin kencang. Jantung berdegup dengan kencang, rasa exciting memenuhi dada. Akhirnya, aku berada di tengah para pejalan kaki ini. Berbagai suku bangsa, berbagai warna kulit, berbagai ukuran badan, berbagai warna mata, berbagai usia, tapi semua dalam satu bahasa: talbiyah! Dan semua menuju arah yang sama.
"Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk, laa syariikalak"
Berjalan di tengah lautan manusia, tidak semenakutkan seperti yang terbayang dalam alam kecemasanku. Aku terbawa dalam spirit kebersamaan dan saling membantu mencapai satu tujuan.
"Help! Help! Water," seorang perempuan bertubuh tambun berkulit hitam legam menunjuk-nunjuk ke arah botol aqua kecil yang aku bawa. Tangan yang satunya memegangi tenggorokannya, mengisyaratkan rasa harus. Wajahnya berpeluh keringat, disebelah kanan kirinya rekan-rekan wanitanya memegangi lengannya, terlihat seolah sedang menghibur atau memberi semangat kepada perempuan separuh baya tersebut.
Aku bengong, melirik ke arah lengan yang memegang botol aqua. Tanpa sadar botol aqua kecilku sudah berpindah tangan.  Senang rasanya bisa membantu, semangat langsung bertambah untuk segera melanjutkan perjalanan. Hei, tunggu! Kok rasanya ada sesuatu yang aneh. Tenggorokan terasa kering, kuraih tasku mencari-cari botol minum. Aduh lupa! Aku menepok jidat sendiri.
"Ayah, aku ngga punya lagi air minum, aku haus. Dari tadi tidak terlihat kran air zamzam,"  aku mengkipas-kipas muka dengan kedua tanganku, "Jamarat sudah dekat?"
"Baru setengahnya kayaknya," jawabnya. Oh, my! Ya Allah, aku haus.
"Eh, Ayah, itu air zamzam bukan?" Mataku tertumbuk pada sekerumunan orang yang berjejer di tangki-tangki berbentuk silinder. Wah, tangki air zamzam! Seolah menjawab isi hati. Aku berlari mendekati tangki minum. Minum air dari keran langsung alangkah segarnya. Fabi ayyi ‘ala irobbikuma tukazziban. Nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?

“Laa Haj! Laa Hajjah Laa!”

Perjalanan menuju Jamarat berlanjut. Walaupun jalur sudah diatur sedemikian rupa menggunakan pemisah pagar kawat besi tinggi, sehingga kecil kemungkinan orang untuk berpapasan arah, tetapi terlihat di beberapa titik, jemaah berusaha pindah jalur dengan mencoba membuka pintu pembatas, bahkan ada yang meloncatinya. “Laa Haj! Laa Hajjah Laa!”  Teriakan petugas Arab yang disambut dengan gelengan kepala dan isyarat tangan pun sepertinya kalah tertelan suara protes para jemaah yang sudah kelelahan. Membuka pagar pembatas sangat membahayakan memotong arus.
Sepertinya hari Nahr (10 Dzulhijah) dan hari pertama Tasyrik (11 Dzulhijah) adalah titik kritis pelaksanaan ibadah haji. Para jemaah haji yang telah kelelahan wukuf di Arafah, berjalan kaki menuju Muzdalifah untuk mabit dan kemudian berjalan kaki menuju Jamarat di Mina untuk melempar jumrah Aqabah. Disinilah titik dimana kondisi emosional ada dititik terbawah. Kelelahan, belum lagi ditambah jika cuaca panas yang tidak mendukung serta pengaturan yang kurang maksimal bisa menjadi pemicu terjadinya tragedi. Mengatur jutaan orang di lapangan tidaklah semudah teori di atas kertas.
Pada hari Nahr, semua orang tentunya ingin mengambil waktu utama yaitu sekitar pukul 08.00 – 11.00, bertepatan dengan waktu dhuha. Juga adanya batasan waktu pelemparan jumrah aqabah pada hari Nahr yaitu sebelum matahari tenggelam, membuat pengaturan super ketat harus diberlakukan. Oleh sebab itu mungkin pemerintah Indonesia mengatur pelaksanaan waktu melempar jumrah di setiap maktab untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Hajj! Hajj! Hajjah! Hajjah!" Teriakan petugas terus terdengar sayup-sayup di belakang, entah berteriak karena apa lagi.

Jumratul Aqabah

Mendekati Jamarat semua jalur menjadi satu memasuki gedung Jamarat. Aku semakin kencang menarik ujung kain ihram suamiku. Pintu masuk jamarat sangat padat, tetapi semua tertib, berjalan perlahan mengikuti arus. Di tengah lautan orang tinggi besar, aku dan suamiku mungkin batas ketiak mereka.
Memasuki Jamarat, terlihat tiga tiang berjejer memanjang. Berurutan dari arah kami masuk: Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Hari ini, Jumratul Ula dan Aqabah terlihat kosong. Ya, karena pada hari Nahr, kita hanya melempar di Jumratul Aqabah, tiang yang terdekat dari arah Mekkah.
Tiang satu dan tiang dua kami lewati menuju tiang yang terjauh, dan menuju tiang terdekat dari arah Mesjidil Haram. Lingkaran area lempar jumaratul Aqabah sangat penuh. Kami praktekan cara mendekati Aqabah tanpa melawan arus. Kami masuk dari ujung, disela-sela ketiak orang-orang yang tangannya dalam posisi melempar, bergeser sedkit demi sedikit di sepanjang bibir lingkaran, terus ke tengah sampai akhirnya kami tiba di posisi tengah yang jarak lemparannya terasa lebih dekat dibandingkan melempar dari ujung. Dan, satu demi satu, ke tujuh kerikil mendarat di tempatnya diikuti suara takbir disetiap lemparannya.
Jamarat telah banyak mengalami perbaikan. Kini Jamarat terdiri dari lima lantai yang bisa dipergunakan untuk ibadah lempar jumrah. Terdapat banyak pintu masuk dan pintu keluar. Pintu akses ini diatur sedemikian rupa sehingga jemaah yang datang tidak akan bentrok dengan jemaah yang keluar. Semua diatur supaya jemaah bergerak dalam satu jalur. 

Sejarah Melempar Jumrah

Lempar jumrah, sering diidentikan dengan melempar setan atau simbol perlawanan terhadap setan yang sering mengganggu manusia. Tak jarang dengan memaknai seperti ini, banyak jemaah haji yang melempar dengan geram, melempar menggunakan batu kerikil besar, bahkan anekdotnya ada yang digambarkan melempar dengan sendal atau botol minuman sambil memaki setan. Entahlah anekdot yang beredar itu benar atau tidak.
Konon kabarnya di sinilah saat nabi Ibrahim dan keluarga digoda setan ketika hendak melaksanakan perintah-Nya untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim menolak rayuan setan dan melemparnya di tempat jumrah Ula. Setan kemudian merayu Hajar, ibunda Ismail agar mengurungkan niat Ibrahim menyembelih putranya. Kasihan setan, karena ternyata bunda Hajar pun tidak mempan dengan bujuk rayunya dan bunda Hajar melemparnya di tempat melemparnya jumrah Wustha. Hingga akhirnya setan merayu Ismail yang ternyata seperti halnya ayah dan ibunya yang tidak goyah dengan bujuk rayunya. Ibrahim, Hajar dan Ismail melempari setan di tempat kita melempar jumrah Aqabah.
Apakah benar kita melempar setan? Aku tak tahu. Yang aku pahami adalah melempar kerikil pada hari nahr dan 3 hari tasyrik semata-mata untuk mengingat Allah. Tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Dan kita hanya mengambil pelajaran dari Ibrahim, bapak para anbiya, bahwa semuanya adalah milik Allah SWT semata.
Betul kata Pak Ustad pada khutbah Idul Adha kali ini, dalam setiap diri kita ada Ibrahim dan kita mungkin memiliki Ismail. Ismail kita bisa ANAK-ANAK yang kita lahirkan. Ismail kita bisa jadi adalah HARTA KEKAYAAN yang kita sayangi. Ismail kita mungkin PANGKAT & JABATAN kita. Ismail kita bisa pula ISTRI atau SUAMI yang kita miliki. Ismail kita bisa saja ORANG TUA yang kita CINTAI. Ismail kita sangat mungkin PEKERJAAN yang kita banggakan. Kita banyak memiliki ISMAIL!
Puncak dari Haji dan Idul Adha adalah penyerahan secara totalitas, bahwa semua adalah kepunyaan-Nya, termasuk badan dan jiwa kita. 

#Cilegon, 11 Dzulhijah, teriring doa untuk para jemaah haji yang menjadi korban tragedi Mina, semoga amal ibadahnya di terima dan dibangkitkan kelak di hari kiamat dalam keadaan berpakaian ihram dan bertalbiyah.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar. Silahkan tinggalkan jejak, ya.

Follow my media social for any update of articles
Twitter: @mandalagiri_ID
Instagram: mandalagiri_ID

 

Ads

Followers

Ads

Warung Blogger

Hijab Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Ads

IDCorner

ID Corners

Fun Blogging

Fun Blogging

Blogger Perempuan Network

Blogger Perempuan